(Bagian Pertama dari 2 Tulisan)
A. Biografi
Singkat Ḥasan al-Bannā
Ḥasan Aḥmad ‘Abd al-Raḥmān al-Bannā,
demikian nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada 17 Oktober 1906 di Al-Maḥmūdiyyah,
Provinsi Buhairah, Mesir. Al-Bannā tumbuh di bawah asuhan kedua orang tua yang
mulia dan memiliki kesungguhan dalam menanamkan akhlak yang luhur kepada
putra-putrinya.
Ayahnya, Syekh Aḥmad ibn ‘Abd
al-Raḥmān ibn Muḥammad al-Bannā al-Sā’atiy—yang pernah belajar di Universitas
Al-Azhar pada zaman Syekh Muḥammad ‘Abduh—adalah salah seorang ahli hadis yang
masyhur.1 Pada
masa kecil, Ḥasan al-Bannā dididik langsung oleh sang ayah yang mengajarkan kepadanya al-Quran, hadis,
fikih, bahasa, dan tasawuf. Pada usia delapan tahun, al-Bannā masuk ke Madrasah
Diniyah “al-Rasyād” di al-Maḥmūdiyah. Di madrasah ini, ia menghafal separuh al-Quran
dan banyak hadis Rasul saw ketika ia berusia dua belas tahun.2
Di madrasah ini pula, ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab dan penerapannya
beserta sastra dan hafalan-hafalan syair dan prosa. Al-Bannā tidak menamatkan
pendidikannya di madrasah ini karena tidak lama setelah pengunduran diri kepala
sekolahnya, Syekh Muḥammad Zahran, ia pun pindah ke Madrasah I’dādiyyah.
Setamat dari madrasah tersebut, al-Bannā kemudian masuk ke Madrasah
Mu’allimīn (Sekolah Pendidikan Guru) di Damanhur.3
Pada usia enam belas tahun, Ḥasan
al-Bannā melanjutkan pendidikannya ke Dār al-‘Ulūm, Kairo. Pada tahun 1927,
dalam usia 21 tahun, ia berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Tidak lama
kemudian, ia menjadi guru di Madrasah Ibtidāiyyah. Sejak itu, sampai dengan
kurang lebih sembilan belas tahun, di samping mengajar pada pagi hari, beliau
juga giat berdakwah pada sore hari dan hari-hari libur.
Dari latar pendidikan tersebut, tidaklah
mengherankan jika ia kemudian tampil sebagai sosok dai, pejuang, propagandis,
dan politikus yang gigih dalam memperjuangkan cita-citanya. Perpaduan antara
semangat Islam dan bakat memimpin yang dimilikinya itu tampak jelas ketika ia
masih muda-belia. Ketika masa remaja, misalnya, ia berhasil mengkoordinasikan
organisasi di kalangan pelajar.
Dalam kehidupan tokoh agung ini,
terdapat satu aspek penting yang menunjukkan bahwa orientasi kebaikan telah
menghunjam kuat dalam jiwanya, seakan sebuah sifat bawaan sejak lahir. Aspek
yang penting itu adalah kecenderungan yang dini—serta semangat
berkompetisi—kepada kebaikan. Para pengkaji kehidupan al-Bannā akan menemukan
kesaksian sejarah bahwa tokoh ini telah ikut andil dan berpartisipasi dalam berbagai organisasi kebaikan sebelum
usianya menginjak tiga belas tahun. Semangat ini dipadu dengan bakat
kepemimpinan yang dimilikinya serta kecenderungan berserikat dan mengorganisasi
massa. Di sekolah menengah saja, ia sudah terpilih sebagai ketua Jam’iyyah al-Akhlāq
al-Adābiyyah (Perhimpunan Akhlak Mulia). Misi perkumpulan ini adalah
menjaga etika para siswa di madrasah tersebut.
Di bawah kepemimpinannya, perhimpunan
ini giat melakukan aktivitas-aktivitas yang menjadi misinya. Perhimpunan ini
memberi pengaruh yang sangat dalam pada diri al-Bannā dan semua anggotanya;
mengajarkan kepada mereka keberanian moral dan membuat mereka mampu melakaukan
amar makruf nahi mungkar. Hal ini tidak hanya terbatas dalam lingkungan
internal sekolah, tetapi juga di luar sekolah.4
Bersama pelajar lainnya, ia juga membentuk Jam’iyyah
Man’ al-Muḥarramāt (Perhimpunan Anti-Haram), dan jabatan ketua diamanatkan
kepadanya. Misi perhimpunan ini adalah menjaga aspek-aspek keagamaan dan
memantau orang-orang yang menyepelekannya atau melakukan salah satu perbuatan
dosa.
Ḥasan al-Bannā juga pernah tercatat sebagai salah seorang pengikut tasawuf al-Ḥaṣafiyyah (didirikan oleh Syekh Hasanein al-Ḥaṣafiy; wafat 26 Juni 1910)5 semenjak berusia 14 tahun. Adanya pengaruh besar tasawuf dalam membersihkan jiwa dan meluruskan akhlak al-Bannā, juga membawa pengaruh besar dalam metode dan materi pendidikan yang diterapkannya pada anggota Ikhwān. Mereka dididik di atas prinsip pengutamaan sisi praktis dari agama dan menghindari polemik dalam masalah-masalah khilafiyah atau persoalan-persoalan yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman.6
Al-Bannā memanfaatkan hubungan baiknya dengan Syekh Hasanein al-Ḥaṣafiy untuk mendirikan Jam’iyyah Ḥaṣafiyyah Khairiyyah (Perhimpunan Sosial Ḥaṣafiyyah). Di perhimpunan ini, ia terpilih sebagai sekretaris, sedangkan ketuanya adalah Aḥmad Afandī Sukrī. Perhimpunan ini beraktivitas dalam dua bidang. Pertama, menyebarkan seruan keutamaan akhlak dan memberantas kemungkaran dan praktek-praktek haram. Kedua, melawan upaya pengiriman misionaris-misionaris Inggris.
Ḥasan al-Bannā juga pernah tercatat sebagai salah seorang pengikut tasawuf al-Ḥaṣafiyyah (didirikan oleh Syekh Hasanein al-Ḥaṣafiy; wafat 26 Juni 1910)5 semenjak berusia 14 tahun. Adanya pengaruh besar tasawuf dalam membersihkan jiwa dan meluruskan akhlak al-Bannā, juga membawa pengaruh besar dalam metode dan materi pendidikan yang diterapkannya pada anggota Ikhwān. Mereka dididik di atas prinsip pengutamaan sisi praktis dari agama dan menghindari polemik dalam masalah-masalah khilafiyah atau persoalan-persoalan yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman.6
Al-Bannā memanfaatkan hubungan baiknya dengan Syekh Hasanein al-Ḥaṣafiy untuk mendirikan Jam’iyyah Ḥaṣafiyyah Khairiyyah (Perhimpunan Sosial Ḥaṣafiyyah). Di perhimpunan ini, ia terpilih sebagai sekretaris, sedangkan ketuanya adalah Aḥmad Afandī Sukrī. Perhimpunan ini beraktivitas dalam dua bidang. Pertama, menyebarkan seruan keutamaan akhlak dan memberantas kemungkaran dan praktek-praktek haram. Kedua, melawan upaya pengiriman misionaris-misionaris Inggris.
Prestasi terbesar al-Bannā dalam
kancah pendidikan dan dakwah yang tetap abadi dalam kesaksian sejarah hingga
kini adalah berdirinya al-Ikhwān al-Muslimūn (selanjutnya disebut Ikhwān),
seperti yang akan diuraikan kemudian. Bahkan, tidak berlebihan apabila
dikatakan, sejarah al-Bannā identik dengan sejarah Ikhwān itu sendiri.
Sehubungan dengan cita-cita
perjuangannya untuk menerapkan ajaran Islam yang lengkap pada semua aspek
kehidupan, aktivitas Ḥasan al-Bannā dan Ikhwān menggapai bidang yang amat luas.
Aspek-aspek yang berhasil digarapnya, meliputi agama dan moral, sosial,
pendidikan, ekonomi, dan politik.7
Dalam waktu singkat, Ḥasan al-Bannā
dan harakah Ikhwān yang dipimpinnya mendapat respons positif dan simpati
luar biasa dari masyarakat.8
Sebenarnya Ḥasan al-Bannā bukan seorang politikus praktis dan Ikhwān bukanlah
sebuah partai politik. Meski demikian, ia dan tokoh Ikhwān lainnya tidak absen
dari pembicaraan tentang politik, karena dalam pandangannya politik merupakan
bagian integral dari ajaran Islam yang syāmil.
Respons masyarakat yang demikian
luar biasa serta kiprah Ikhwān yang sukses di berbagai aspek kehidupan,
menimbulkan kecurigaan pihak penguasa. Kecurigaan tersebut semakin memuncak.
Dan akhirnya, pada 8 Desember 1948, pemerintah Mesir membubarkan al-Ikhwān
al-Muslimūn, menyita semua kekayaannya, dan memenjarakan tokoh-tokoh penting
organisasi ini selain mu`assis-nya sendiri, Ḥasan al-Bannā. Dua bulan
kemudian—tepatnya pada 12 Februari 1949—terjadi tragedi berdarah yang sangat
memilukan: Ḥasan al-Bannā wafat, tertembak anggota dinas rahasia pemerintah.9
Dari uraian di atas, tampak betapa
Ḥasan al-Bannā adalah sosok yang sangat concern terhadap nilai-nilai
kebajikan semenjak usianya masih sangat muda. Multikecerdasan yang berpadu
dengan sangat sempurna dalam dirinya, serta komitmennya terhadap perubahan
menjadikannya sebagai pribadi selalu “gelisah” dengan kondisi keterpurukan yang
menimpa umat ketika itu. Hal itu menjadikannya sebagai sosok dengan ide-ide
pergerakan yang selalu hangat dikaji dan diperbincangkan dari genarasi ke
generasi. Dalam pandangan al-Bannā, medan dakwah tidak boleh dibiarkan kosong
tanpa aktivitas yang memadai dalam mengembalikan deskripsi konsep perubahan
dengan seluruh dimensinya yang beraneka-ragam. Dalam konteks inilah kemudian
dapat dilihat bagaimana ia menjadikan pendidikan (tarbiyyah) sebagai
sokoguru perubahan.
B. Latar Belakang Pemikirannya
Ḥasan al-Bannā beserta ide-ide dan pemikiran-pemikirannya—terutama
dalam bidang pendidikan—tidak lepas dari pengaruh situasi sosial-politik Mesir
yang tampak di depan matanya kala itu. Pascakepemimpinan Sa’d Zaglūl—pemimpin
kemerdekaan Mesir (wafat 23 Agustus 1927)—terjadi disintegrasi politik dalam
negeri, dan Mesir menjadi ajang pertarungan antarpartai politik.
Akibat pertarungan yang tidak sehat ini, memudarlah semangat
nasionalisme yang berakses kepada melemahnya bangsa Mesir. Selain itu, partai
politik yang berkuasa ketika itu tidak lagi mengacu kepada nilai-nilai Islam
dalam menentukan kebijaksanaan politiknya, tetapi sepenuhnya berkiblat kepada
Barat. Seluruh aturan, kebiasaan, nilai-nilai moral, dan konsepsi politiknya
berorintasi ke Barat.
Dalam bidang agama dan moral, Mesir seakan sudah melupakan Islam
sebagai pandangan hidup. Di bidang ekonomi, sumber daya alam, modal, serta
pengawasan perekonomian berada di tangan Inggris yang mengakibatkan rakyat
lemah dan jatuh miskin.
Di bidang politik, tampak adanya pengelompokan dan pemisahan yang
tajam antara ahli politik dan ahli agama. Ahli agama dipandang hanya berwenang
berbicara mengenai agama, dan ahli politik berwenang berbicara soal politik. Berbicara
tentang politik dianggap tabu oleh ahli agama. Sebaliknya, lahir pula banyak
partai yang mengaku tidak memiliki hubungan dengan soal agama.10
Dalam bidang pendidikan pula terjadi kepincangan, terutama masalah
kurikulum. Sekolah-sekolah pemerintah hanya mementingkan pengetahuan umum dan
mengesampingkan ilmu-ilmu agama. Sebaliknya, sekolah-sekolah agama semata-mata
mementingkan ilmu-ilmu agama dan tidak menghiraukan pengetahuan umum. Dalam Bidāyah
al-Ta`sīs-nya, Jum’ah Amīn Abd ‘Azīz mendeskripsikan situasi tersebut:
.... Oleh karena itu, kurikulum pendidikan
yang ada harus dirumuskan di atas fondasi ilmu-ilmu periferal an sich yang
tidak memiliki banyak manfaat bagi kemajuan Mesir. Tujuan yang ingin dicapai
dari kurikulum tersebut tidak lain hanyalah mencetak mesin-mesin tulis yang
dapat menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Dalam rangka menghapuskan identitas
religius para siswa, mereka menjadikan pelajaran agama bukan sebagai mata
pelajaran utama. Ia hanya merupakan mata pelajaran ekstra atau non-SKS yang
tidak diujikan dan tidak memengaruhi
lulus tidaknya seorang siswa. Demikian juga, pelajaran bahasa Inggris
mengalahkan bahasa Arab.11
Rentetan krisis multidimensi
tersebut, sangat memprihatinkan Ḥasan al-Bannā. Menurutnya, kemerosotan yang
tengah melanda Mesir itu hanya dapat di atasi dengan kembali kepada al-Quran
dan sunah serta sirah Nabi Muhammad saw. Ide dasar yang dikemukakannya adalah
Islam membawa ajaran yang sempurna, mencakup semua aspek kehidupan. Ide ini
sesungguhnya merupakan antitesis terhadap ide sekularisme dan westernisme yang
berkembang di kalangan masyarakat Mesir ketika itu sekaligus mendorongnya untuk
mendeklarasikan berdirinya al-Ikhwān al-Muslimūn pada bulan Maret 1928, seperti
yang telah disinggung sebelumnya.12
1Panggilan "al-Sā’atiy" yang melekat pada nama ayah Ḥasan al-Bannā karena pekerjaannya sebagai tukang reparasi jam, sebuah pekerjaan yang membutuhkan kejelian, pemikiran yang lama, kelapangan dada, dan kesabaran. Menurut Dr. Muḥammad Sayyid al-Wakīl, pekerjaan itu telah melatih Syekh Aḥmad ‘Abd al-Raḥmān untuk memiliki sifat-sifat tersebut yang kemudian dimanfaatkannya untuk melakukan studi dan penelitian terhadap ilmu-ilmu hadis sehingga menjadi seorang ulama besar dan pen-taḥqiq yang tiada tertandingi. Ia telah membaca kitab-kitab musnad karya keempat imam besar—Abū Ḥanīfah, Mālik, al-Syāfi’iy, dan Aḥmad—lalu menyusun dan menertibkannya sesuai dengan bab-bab fikih. Bahkan, kitab Musnad Imām Aḥmad di-takhrīj olehnya lalu dicetak dalam enam belas jilid kitab. Lihat, Muḥammad Sayyid al-Wakīl, Kubrā al-Ḥarakah al-Islāmiyyah fi Qarn Rabī’ al-‘Asyarah Hijriy, diterjemahkan Fachruddin, Lc. dengan judul “Pergerakan Islam Terbesar Abad ke-14 Hijriyah: Studi Analisis terhadap Manhaj Gerakan Ikhwanul Muslimin”, (Bandung: Asy Syamil Press, 2001), h. 19—20.
2Hafalan al-Quran yang separuhnya lagi diselesaikannya di rumah melalui bimbingan ayahnya ketika ia masuk Madrasah I’dādiyyah. Ibid., h. 21.
3Ibid., h. 22. Lihat juga, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I, (Cet. III, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 234.
4Muḥammad Sayyid al-Wakīl, op.cit., h. 26.
5Syekh al-Ḥaṣafiy adalah seorang ulama alumnus al-Azhar yang mendalami fikih mazhab Syāfi’iī. Dia dikenal memiliki pengetahuan agama yang amat luas, taat beragama, serta rajin beribadah dan berzikir. Ia melaksanakan ibdah haji lebih dari satu kali. Hingga akhir hayatnya, ia tetap tekun menjalankan ibadah-ibadah fardu dan sunah. Bahkan, hingga mendekati usia 70 tahun sekalipun, ia tidak pernah absen mengerjakan satu pun amalan sunah. Hal yang paling menarik dari kepribadian al-Ḥaṣafiy adalah konsistensinya memerangi penyimpangan-penyimpangan yang ada dalam tasawuf serta semangatnya beramar makruf hahi mungkar. Lihat, Jum’ah Amīn ‘Abd al-‘Azīz, Bidāyah al-Ta`sīs wa al-Ta’rīf: al-Binā` al-Dākhiliy 1928--1938, diterjemahkan Syafrudin Edi Wibowo dengan judul “Binā Dākhiliy 1928--1938: Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimun”, (Cet. I, Solo: Era Intermedia, 2007), h. 459.
6Ibid., h. 460.
7Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit., h. 235.
8Dalam kurun waktu yang relatif singkat, Ikhwān berkembang dengan pesat. Pada 1932, Ikhwān telah memiliki 15 cabang, kemudian meningkat menjadi 400 cabang pada 1940, dan 2.000 cabang pada 1949 dengan anggota aktif sebanyak 500.000 orang. Pada tahun 1948—setahun sebelum wafatnya al-Bannā—organisasi ini bagaikan sebuah “negara dalam negara” telah melengkapi diri dengan “pasukan militer”, persenjataan, sekolah-sekolah, perusahaan-perusahaan, rumah sakit, serta klinik sendiri. Ibid.
9Ibid., h. 236.
10Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit.
11Jum’ah Amīn ‘Abd al-‘Azīz, op.cit., h. 298.
12Seperti diterangkan di atas, tema-tema sentral
yang menjadi kerangka pemikiran Ikhwān untuk melakukan gerakannya adalah
berkaitan dengan masalah moral masyarakat, ekonomi, fungsionalisasi agama yang
dinilai sudah kurang mampu membendung pengaruh sekular. Selain itu, dasar yang
paling penting yang dijadikan doktrin Ikhwān dalam melancarkan pembaruannya,
ada lima, yaitu (1) Allah tujuan kami ((الله
غايتنا, (2) Rasulullah teladan kami (الرسول قدوتنا), (3) al-Quran
undang-undang dasar hidup kami (القرآن
دوستورنا),
(4) Jihad adalah jalan perjuangan kami (الجهاد
سبيلنا),
dan (5) Syahid di jalan Allah adalah cita-cita luhur kami .(الموت
فى سبيل الله أسمى أمانينا). Kelima doktrin tersebut
selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam perjuangannya, baik dalam bidang
politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, maupun pendidikan. Lihat, Ḥasan al-Bannā, Majmū’ah Rasā`il
al-Imām al-Syahīd Ḥasan al-Bannā, (t.t.: t.p., 1992), h. 359—361.
Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!