Dia bermuka masam dan berpaling,
Karena telah datang seorang buta kepadanya.
Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
Maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
Sedang ia takut kepada (Allah),
Maka kamu mengabaikannya.
Sekali-kali jangan (demikian)!
Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,...
(QS ‘Abasa: 1—11)
Jumhur mufassirin Ahl al-Sunnah wa al-Jam'ah memercayai rangkaian ayat pada awal surah ‘Abasa diturunkan berkenaan dengan sikap dakwah Nabi SAW yang lebih memprioritaskan beberapa tokoh musyrik Quraisy—yang beliau harapkan keislaman mereka untuk memperkuat shaff muslimin—kebanding seorang tunanetra yang pada waktu bersamaan mendatangi beliau dengan niat untuk menanyakan beberapa masalah agama. Konon, Allah SWT "kurang simpati" dengan pendekatan 'awlawiyyat' yang dilakukan Rasul-Nya. Allah SWT pun 'meluruskan' cara dakwah beliau melalui wahyu-Nya dalam awal Surah 'Abasa tersebut.
Dengan berkaca pada firman Allah di atas, berbagai fenomena ‘jurus’ dakwah yang digencarkan para juru dakwah dewasa ini perlu dikritisi kembali. Beberapa kali saya mendengar—dan tidak jarang terlibat diskusi dengan—para dai yang memilah-milih “lahan” dakwah. Berbagai apologi sering kali dimunculkan mereka dalam masalah ini.
Apologi pertama adalah masalah “akselerasi kemenangan”. Di antara dai, ada yang lebih memprioritaskan agenda dakwahnya kepada basis massa tertentu karena dinilainya lebih reponsif mendukung agenda “percepatan kemenangan” kebanding kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih lamban merespons proses percepatan tersebut, meskipun kelompok yang dimaksud sangat membutuhkan bimbingan keimanan. Saya pernah mendapat “semprotan” seorang warga masyarakat salah satu desa di Kecamatan Marawola karena pada suatu kesempatan bulan Ramadan tidak pernah seorang mubalig pun yang mengunjungi jamaah di masjid desa tersebut.
“Selama sebulan, tidak seorang mubalig pun datang ke masjid kami, padahal kami sangat haus dengan siraman-siraman rohani”, ungkapnya.
Menentukan prioritas dalam dakwah, tentu saja merupakan bagian dari anjuran agama. Namun, kalau du’at sibuk membidik “orang-orang potensial”, sehingga menomorsekiankan orang-orang kecil, justeru hal ini menyalahi konsep fiqh al-awlawiyyat.
Apologi lainnya adalah soal “kesejahteraan”. Dalam suatu perbincangan santai dengan salah seorang anggota jamaah masjid, saya sangat kaget mendengar kisah tentang penolakan seorang mubalig kondang yang dimohon oleh badan takmir masjid untuk menyampaikan khutbah Idulfitri.
“Dia menolak untuk menyampaikan khutbah di masjid kami hanya karena kami tidak mampu memenuhi ‘standard’ insentif yang ditentukannya... Dia minta satu juta rupiah untuk khutbah ‘Id”, ungkapnya kepada saya.
Pada waktu yang berbeda, mubalig kondang lainnya mengeluhkan rendahnya “isi amplop” yang diterimanya dari pengurus Masjid X, serta rasa mindernya berdakwah hanya dengan dijemput dengan sepeda motor, padahal mad’u-nya adalah para eksekutif yang menggunakan mobil berkilap, dan seabrek keluhan lainnya yang sifatnya UUD (Ujung-Ujungnya Duit).
Sebagai umana’ al-Rasul (pengemban amanah Rasulullah SAW), semestinya para dai mengambil i'tibar dari teguran Allah dalam QS ‘Abasa tersebut. Dengan “niat” mempercepat kemenangan dakwah, para dai jangan sampai terjebak di dalam pemaknaan fikih prioritas yang sempit dan kurang proporsional. Apa lagi kalau niatan itu hanya sekadar ingin memperoleh materi yang tidak bernilai sama sekali di sisi Allah SWT. Wa Allah Ta'ala a'lam. (Qalamedia Online).
Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!