Pendahuluan
S
istem pendidikan di Indonesia telah melalui rangkaian proses sejarah yang panjang. Pada masa awal kemerdekaan saja, misalnya—mengutip Muhaimin—pemerintah dan bangsa Indonesia telah mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualistis. Pertama, sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekular dan tidak mengenal ajaran agama yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Kedua, sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri.1 Dalam hal ini, terdapat dua corak, yakni (1) isolatif-tradisional (menolak segala yang berbau Barat) dan (2) sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.2
istem pendidikan di Indonesia telah melalui rangkaian proses sejarah yang panjang. Pada masa awal kemerdekaan saja, misalnya—mengutip Muhaimin—pemerintah dan bangsa Indonesia telah mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualistis. Pertama, sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekular dan tidak mengenal ajaran agama yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Kedua, sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri.1 Dalam hal ini, terdapat dua corak, yakni (1) isolatif-tradisional (menolak segala yang berbau Barat) dan (2) sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.2
Kedua sistem
pendidikan pada awal masa kemerdekaan tersebut, sering dianggap bertentangan serta
tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem yang pertama, pada
mulanya, bisa dijangkau oleh kalangan masyarakat atas saja, sedangkan yang
kedua tumbuh dan berkembang secara mandiri di kalangan rakyat dan berurat-akar
dalam masyarakat.
Dalam proses
sejarah selanjutnya, Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan
bahwa pemerintah akan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
nasional yang diatur dengan undang-undang. Sejumlah kebijakan dalam dunia
pendidikan pun kemudian dikeluarkan oleh pemerintah. Ada yang berbentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, dan ada pula yang kebijakan yang
dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional (sebelumnya bernama Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan).
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1989 merupakan salah satu produk undang-undang tentang pendidikan
sebagai pengganti dari undang-undang sebelumnya.3 Undang-undang tersebut diikuti oleh seperangkat Peraturan Pemerintah (PP)
sebagai kebijakan yang mengatur pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, ataupun
tentang pendidikan luar bisa dan pendidikan luar sekolah, dan sebagainya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 akhirnya disempurnakan oleh Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada
hakikatnya, sejumlah undang-undang tersebut merupakan perangkat hukum untuk
mengatur sistem pendidikan Tanah Air. Oleh karena itu, pendidikan Islam yang
telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pendidikan nasional tersebut, baik secara eksplisit
maupun implisit.
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik
sosial maupun kultural berimplikasi terhadap dunia pendidikan Islam di
Indonesia. Dalam tataran makro, persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah
bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan desain atau konstruksi wacana
pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Selanjutnya,
bagaimana desain wacana pendidikan Islam tersebut dapat ditransformasikan atau
diproses secara sistematis dalam masyarakat.
Tulisan ini
mencoba mengeksplorasi secara sederhana integrasi pendidikan Islam dalam sistem
pendidikan nasional. Penulis membatasi masalahnya pada “Bagaimana konsep
integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional?” Pokok masalah di
atas dipertajam dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana deskripsi tentang kondisi obyektif pendidikaan Islam
baik sebelum maupun pascalahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003?
2. Bagaimana akseptabilitas konsep integrasi pendidikan Islam dalam
sistem pendidikan nasional?
Sekilas tentang Kondisi Sistem
Pendidikan Islam
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003, yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional adalah “keseluruhan
komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional”.4 Sementara itu, tujuan pendidikan yang ditetapkan
oleh undang-undang ini adalah “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatrif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.5
Salah satu
instrumen yang bisa diharapkan untuk mewujudkan tujuan di atas adalah pendidikan
Islam sebagai suatu “sistem” pendidikan tertua di Tanah Air. Sejarah memberi
informasi bahwa apa yang kini dicapai sebagai bentuk dan sistem pendidikan nasional,
sebagaimana berlaku dalam kehidupan masyarakat, merupakan hasil komulatif
perjuangan yang terus-menerus dari para tokoh dan pejuang pendidikan negeri
ini.6 Namun—tanpa mengurangi penghargaan akan jasa
para pendahulu tersebut—masih disaksikan kenyataan bahwa sistem pendidikan yang
ada, sampai saat ini masih menampakkan berbagai permasalahan yang memerlukan
penanganan dengan segera.
Permasalahan
tersebut dapat dipetakan dalam empat persoalan.7 Pertama,
dikotomi ilmu pengetahuan hingga memunculkan masalah islamisasi ilmu
pengetahuan (pendidikan). Problem ini sebenarnya
telah ada sejak zaman kolonial Belanda, tetapi problem ini masih berkembang
hingga sekarang. Hal ini setidaknya dapat dilacak dari kajian-kajian
kependidikan Islam, baik melalui kegiatan seminar maupun buku-buku ilmiah.
Problem kedua
adalah kualitas pendidikan agama Islam di sekolah dan perguruan tinggi
umum. Pada prinsipnya, problem ini menyangkut masalah internal dan eksternal
dari pendidikan agama Islam. Aspek internal yang dimaksud berkaitan dengn sisi
pendidikan agama sebagai program pendidikan, terutama dari segi orientasinya
yang lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoretis keagamaan yang
bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis, serta lebih
berorientasi pada belajar tentang agama. Juga yang termasuk dalam aspek ini
adalah kurang concern terhadap
persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna”
dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik. Aspek
lainnya adalah sempitnya pemahaman guru/dosen agama terhadap esensi ajaran
Islam, perancangan dan penyusunan materi Pendidikan Agama Islam yang kurang
tepat, metodologinya yang konvensional-tradisional, dan sebagainya.
Sementara itu,
aspek eksternalnya berupa berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berdampak pada munculnya kritik ilmu pengetahuan (scientific criticism)
terhadap penjelasan ajaran agama yang bersifat konservatif-tradisional,
tekstual, dan skripturalistik. Termasuk juga di dalamnya, era globalisasi,
perubahan sosial-ekonomi dan budaya dengan segala dampaknya.
Problem ketiga
menyangkut upaya membangun pendidikan Islam secara terpadu untuk
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Sampai saat ini, boleh dikatakan bahwa dalam
sistem pendidikan Islam yang dilaksanakan baik secara vertikal maupun horizontal
kurang terjadi perpaduan.8 Dalam
konteks ini, menurut Daulay, perlu ditinjau dari dua sudut, yaitu landasan
filosofi dan metodologi.9
Problem keempat
menyangkut penggalian konsep pemikiran filosofis pendidikan Islam serta
pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam mulai priode klasik hingga priode
modern, dari dalam ataupun luar negeri. Kajian dalam hal ini banyak dilakukan
oleh para mahasiswa S2 dan S3 UIN/IAIN/STAIN atau PTIS yang mengambil
konsentrasi pendidikan Islam. Dari berbagai karya tentang pendidikan Islam,
menurut Azyumardi Azra, menunjukkan bahwa pola kajian pemikiran dan teori
kependidikan Islam di Indonesia memiliki beberapa kecenderungan, yaitu (1)
mendekatinya dengan sangat doktrinal, normatif, dan idealistik, yang
kadang-kadang mengaburkan kaitan atau konteksnya dengan pendidikan Islam itu
sendiri; (2) mengadopsi filsafat, pemikiran dan teori kependidikan Barat tanpa
kritisme yang memadai, bahkan hampir terjadi pengambilan mentah-mentah; (3)
memberi legitimasi terhadap pemikiran dan filsafat pendidikan Barat dengan ayat
al-Quran dan hadis tertentu, sehingga yang menjadi titik-tolak adalah pemikiran
kependidikan Barat (bukan pemikiran kependidikan Islam), yang belum tentu
kontekstual dan relevan dengan pemikiran kependidikan Islam; (4) pemikiran
kependidikan Islam atau yang relevan dengannya yang dikembangkan para ulama,
pemikir, dan filosof muslim, sedikit sekali diungkap dan dibahas.10
B. Akseptabilitas Konsep Integrasi Pendidikan Islam dalam
Sistem Pendidikan Nasional
Apabila
dicermati, dari keempat katagorisasi problem pendidikan Islam seperti yang
diuraikan di atas, masalah integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional, secara implisit, masuk dalam
katagori pertama, yakni problem dikotomi ilmu pengetahuan. Telah
disinggung di muka bahwa pendidikan Islam yang telah berlangsung sejak masuknya
Islam ke Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
pendidikan nasional tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit.
Dari catatan
sejarah diketahui bahwa pendidikan Islam bermula dari pengajian-pengajian di
rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh para penyebar agama Islam, kemudian
berkembang menjadi pengajian di langgar/surau/masjid dan pondok pesantren
seiring dengan berjalannya pertumbuhan kehidupan umat Islam pada waktu itu.
Pada masa selanjutnya, muncul bentuk madrasah dan upaya untuk memasukkan
pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum yang didirikan oleh
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ketika Indonesia merdeka, bentuk-bentuk
sistem pendidikan Islam, baik pesantren, madrasah, maupun di sekolah-sekolah
umum terus berlanjut, namun dengan perkembangan yang tampak menunjukkan
ketertinggalan dari masyarakat sendiri disertai problem-problem yang telah
dipaparkan di atas.
Implikasi yang
bisa muncul dari dikotomi sistem pendidikan adalah timbulnya kesenjangan antara
sumber ilmu, antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Dalam buku Integrasi
Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Kertanegara mengomentari hal itu
sebagai berikut:
Para
pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber ilahi dalam bentuk
kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skriptual sebagai
sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran sejati ... Di pihak lain,
ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui
pengamatan inderawi.11
Oleh karena itu,
integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional merupakan bagian
dari problem-problem tersebut. Menurut hemat penulis, pendekatan yang dilakukan
hendaknya bersifat integratif. Sehubungan dengan itu, Depertemen Agama
(sekarang Kementerian Agama) yang berdiri pada 3 Januari 1946 secara intensif memperjuangkan
politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usahanya dalam bidang
pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama
diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah. Secara
lebih spesifik, usaha ini ditangani oleh bagian khusus yang mengurusi masalah
pendidikan agama.
Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah
memberikan kesempatan untuk masuknya pengajaran agama di sekolah-sekolah, di
samping mengakui sekolah agama (madrasah, yang diakui oleh Menteri Agama)
sebagai lembaga penyelenggara wajib belajar. Ketetapan (Tap) MPRS Nomor 2 Tahun 1960 menetapkan pemberian
pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai sekolah dasar sampai
dengan perguruan tinggi, di samping pengakuan bahwa pesantren dan madrasah
sebagai lembaga pendidikan yang otonom di bawah pembinaan Departemen Agama.
Tap MPRS Nomor 27 Tahun 1966 menetapkan bahwa
agama, pendidikan, dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam nation and
caracter building, sekaligus menetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata
pelajaran pokok dan wajib diikuti oleh setiap peserta didik sesuai dengan agama
masing-masing. Akhirnya, Tap MPR Nomor 2 Tahun 1988 tentang Asas Tunggal yang
menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, lebih memantapkan usaha masuknya lembaga pendidikan
keagamaan (pesantren dan madrasah) dalam kerangka sistem pendidikan nasional.
Dengan demikian, lebih memantapkan pula usaha pengintegrasian pendidikan Islam
ke dalam sistem pendidikan nasional. 12
Segala
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh
pemerintah—yang tampaknya mengarah
kepada usaha integrasi tersebut—merupakan persiapan untuk menyusun dan
mewujudkan undang-undang tentang “satu
sistem pendidikan dan pengajaran nasional”, sebagaimana yang dikehendaki oleh
Pasal 31 UUD 1945, seperti disinggung pada bagian awal makalah ini. Dengan
disahkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang “lebih dikukuhkan” oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (juga tentang
Sistem Pendidikan Nasional), usaha integrasi pendidikan Islam ke dalam sistem
pendidikan nasional mendapatkan dasar hukumnya yang mantap.
Simpulan
Dari berbagai
uraian di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1. Dalam realitas sejarahnya, baik masa-masa prakemerdekaan
maupun awal kemerdekaan, bangsa
Indonesia telah memberikan perhatian dan pengakuan yang relatif tinggi terhadap
sumbangan besar pendidikan Islam dalam upaya mendidik dan mencerdaskan bangsa.
Diskursus pengembangan pendidikan Islam yang menjadi perhatian para pengembang
dan pemikirnya, agaknya semakin memperkaya khazanah pemikiran tentang
pengembangan pendidikan Islam di Indonesia sekaligus lebih mengokohkan
eksistensi bangunan pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu yang bersdiri sendiri.
2. Lahirnya sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai follow
up terhadap amanat Pasal 31 UUD 1945 menggambarkan betapa akseptabilitas
pemerintah dan masyarakat muslim Indonesia akan upaya integrasi pendidikan
Islam dalam sistem pendidikan nasional. Khusus dengan disahkanya UU Nomor 2
Tahun 1989 dan UU Nomor 20 Tahun 2003, integrasi pendidikan Islam ke dalam
sistem pendidikan nasional mendapatkan dasar hukum yang mantap, baik dari aspek
kelembagaan maupun isi kurikulumnya.
Implikasi Penelitian
1. Penyempurnaan sistem pendidikan Islam hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan hasil evaluasi
terhadap segi-segi yang masih lemah dan keliru.
2. Integrasi pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional
telah mendapatkan landasan hukum yang kuat dari undang-undang. Permasalahannya
terletak dalam kekhawatiran akan jaminan penanganan yang sungguh-sungguh dan
fungsional jika konsep integrasi pendidikan agama tersebut oleh pihak-pihak yang memiliki konmpetensi
yang lemah dalam bidang itu.
1Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan, Manajemen Kelmbagaan, Kurikulum,
hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), h.
76.
2Sintesis maksudnya
adalah corak pengembangan pendidikan yang berusaha mempertemukan antara corak
lama (pondok pesantren) dan corak baru (model pendidikan kolonial atau Barat)
yang berwujud sekolah atau madrasah. Corak ini berkembang dalam beberapa
variasi. Pertama, mengikuti pola pendidikan Barat, namun content-nya
lebih menonjolkan ilmu-ilmu keislaman. Kedua, mengutamakan mata pelajaran-mata pelajaran
agama di samping mata pelajaran-mata pelajaran umum secara terbatas. Ketiga,
menggabungkan secara lebih seimbang antara
muatan-muatan pendidikan keagamaan dan nonkeagamaan. Keempat, mengikuti pola gubernemen dengan ditambah pendidikan Barat (kolonial)
dengan tambahan beberapa mata ppelajaran pelajaran agama. Lihat, ibid.,
h. 27.
3Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1950, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan
Tinggi, Undang-Undang Nomor 14 PR PS Tahun 1965 tentang Majelis Pendiidkan
Nasional, dan Undang-Undang Nomor 19 NPS Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem
Pendidikan Nasional. Lihat, Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007),
h. vi.
4Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah RI tentang Pendidikan dalam “Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” (Jakarta: tp.,
2006), h. 5.
6Lihat, A.M. Saefuddin (et.al.), Desekularisasi Pemikiran Landasan
Islamisasi dalam “Konsep Pendidikan Agama sebuah Pendekatan
Integratif-Inovatif” (Cet. I; Bandung: Mizan, 1987), h. 102.
7Muhaimin, op.
cit., h. 85. Bandingkan dengan, A.M. Saefuddin (et.al.), op.
cit., h. 103—105.
8A.M. Saefuddin
(et.al.), op. cit., h. 106.
9 Haidar Putra
Daulay, op. cit., h. 114.
10Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta:
Logos, 1999), h. 98.
11Mulyadhi
Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung:
Artasy Mizan, 2005), h. 22—23.
12Lihat, Muzayyin
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2007), h. 204—213. Lihat juga, Muhaimin, op. cit., h.
83—84.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Edisi
Revisi, Cet. II; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 1999.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia. Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007.
Kertanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi
Holistik. Bandung: Arasy Mizan, 2005.
Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma
Pelembagaan, Manajemen Kelmbagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2009.
Saefuddin, A.M. (et.al.). Desekularisasi Pemikiran
Landasan Islamisasi. Cet. I; Bandung: Mizan, 1987.
Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen
Agama. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan dalam
“Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional”. Jakarta: tp., 2006.
Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!