Home » » Integrasi Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional

Integrasi Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional

Oleh: A.A. Danie | 14 Jul 2012 | 17.03



Pendahuluan
S
istem pendidikan di Indonesia telah melalui rangkaian proses sejarah yang panjang. Pada masa awal kemerdekaan saja, misalnya—mengutip Muhaimin—pemerintah dan bangsa Indonesia telah mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran  yang dualistis. Pertama,  sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekular dan tidak mengenal ajaran agama yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Kedua, sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang  di kalangan masyarakat  Islam sendiri.1 Dalam hal ini, terdapat dua corak, yakni (1) isolatif-tradisional (menolak segala yang berbau Barat) dan (2) sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.2
Kedua sistem pendidikan pada awal masa kemerdekaan tersebut, sering dianggap bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem yang pertama, pada mulanya, bisa dijangkau oleh kalangan masyarakat atas saja, sedangkan yang kedua tumbuh dan berkembang secara mandiri di kalangan rakyat dan berurat-akar dalam masyarakat.
Dalam proses sejarah selanjutnya, Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa pemerintah akan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Sejumlah kebijakan dalam dunia pendidikan pun kemudian dikeluarkan oleh pemerintah. Ada yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan ada pula yang kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional (sebelumnya bernama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 merupakan salah satu produk undang-undang tentang pendidikan sebagai pengganti dari undang-undang sebelumnya.3 Undang-undang tersebut diikuti oleh seperangkat Peraturan Pemerintah (PP) sebagai kebijakan yang mengatur pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, ataupun tentang pendidikan luar bisa dan pendidikan luar sekolah, dan sebagainya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 akhirnya disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada hakikatnya, sejumlah undang-undang tersebut merupakan perangkat hukum untuk mengatur sistem pendidikan Tanah Air. Oleh karena itu, pendidikan Islam yang telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit.
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural berimplikasi terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia. Dalam tataran makro, persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan desain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Selanjutnya, bagaimana desain wacana pendidikan Islam tersebut dapat ditransformasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat.
            Tulisan ini mencoba mengeksplorasi secara sederhana integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Penulis membatasi masalahnya pada “Bagaimana konsep integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional?” Pokok masalah di atas dipertajam dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana deskripsi tentang kondisi obyektif pendidikaan Islam baik sebelum maupun pascalahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003?
2. Bagaimana akseptabilitas konsep integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional?

Sekilas tentang Kondisi Sistem Pendidikan Islam
            Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional adalah “keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”.4 Sementara itu, tujuan pendidikan  yang ditetapkan oleh undang-undang ini adalah “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatrif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.5
            Salah satu instrumen yang bisa diharapkan untuk mewujudkan tujuan di atas adalah pendidikan Islam sebagai suatu “sistem” pendidikan tertua di Tanah Air. Sejarah memberi informasi bahwa apa yang kini dicapai sebagai bentuk dan sistem pendidikan nasional, sebagaimana berlaku dalam kehidupan masyarakat, merupakan hasil komulatif perjuangan yang terus-menerus dari para tokoh dan pejuang pendidikan negeri ini.6 Namun—tanpa mengurangi penghargaan akan jasa para pendahulu tersebut—masih disaksikan kenyataan bahwa sistem pendidikan yang ada, sampai saat ini masih menampakkan berbagai permasalahan yang memerlukan penanganan dengan segera.
Permasalahan tersebut dapat dipetakan dalam empat persoalan.7 Pertama, dikotomi ilmu pengetahuan hingga memunculkan masalah islamisasi ilmu pengetahuan (pendidikan). Problem  ini sebenarnya telah ada sejak zaman kolonial Belanda, tetapi problem ini masih berkembang hingga sekarang. Hal ini setidaknya dapat dilacak dari kajian-kajian kependidikan Islam, baik melalui kegiatan seminar maupun buku-buku ilmiah.
Problem kedua adalah kualitas pendidikan agama Islam di sekolah dan perguruan tinggi umum. Pada prinsipnya, problem ini menyangkut masalah internal dan eksternal dari pendidikan agama Islam. Aspek internal yang dimaksud berkaitan dengn sisi pendidikan agama sebagai program pendidikan, terutama dari segi orientasinya yang lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoretis keagamaan yang bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis, serta lebih berorientasi pada belajar tentang agama. Juga yang termasuk dalam aspek ini adalah  kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik. Aspek lainnya adalah sempitnya pemahaman guru/dosen agama terhadap esensi ajaran Islam, perancangan dan penyusunan materi Pendidikan Agama Islam yang kurang tepat, metodologinya yang konvensional-tradisional, dan sebagainya.
Sementara itu, aspek eksternalnya berupa berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada munculnya kritik ilmu pengetahuan (scientific criticism) terhadap penjelasan ajaran agama yang bersifat konservatif-tradisional, tekstual, dan skripturalistik. Termasuk juga di dalamnya, era globalisasi, perubahan sosial-ekonomi dan budaya dengan segala dampaknya.
Problem ketiga menyangkut upaya membangun pendidikan Islam secara terpadu untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.  Sampai saat ini, boleh dikatakan bahwa dalam sistem pendidikan Islam yang dilaksanakan baik secara vertikal maupun horizontal kurang terjadi perpaduan.8 Dalam konteks ini, menurut Daulay, perlu ditinjau dari dua sudut, yaitu landasan filosofi dan metodologi.9
Problem keempat menyangkut penggalian konsep pemikiran filosofis pendidikan Islam serta pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam mulai priode klasik hingga priode modern, dari dalam ataupun luar negeri. Kajian dalam hal ini banyak dilakukan oleh para mahasiswa S2 dan S3 UIN/IAIN/STAIN atau PTIS yang mengambil konsentrasi pendidikan Islam. Dari berbagai karya tentang pendidikan Islam, menurut Azyumardi Azra, menunjukkan bahwa pola kajian pemikiran dan teori kependidikan Islam di Indonesia memiliki beberapa kecenderungan, yaitu (1) mendekatinya dengan sangat doktrinal, normatif, dan idealistik, yang kadang-kadang mengaburkan kaitan atau konteksnya dengan pendidikan Islam itu sendiri; (2) mengadopsi filsafat, pemikiran dan teori kependidikan Barat tanpa kritisme yang memadai, bahkan hampir terjadi pengambilan mentah-mentah; (3) memberi legitimasi terhadap pemikiran dan filsafat pendidikan Barat dengan ayat al-Quran dan hadis tertentu, sehingga yang menjadi titik-tolak adalah pemikiran kependidikan Barat (bukan pemikiran kependidikan Islam), yang belum tentu kontekstual dan relevan dengan pemikiran kependidikan Islam; (4) pemikiran kependidikan Islam atau yang relevan dengannya yang dikembangkan para ulama, pemikir, dan filosof muslim, sedikit sekali diungkap dan dibahas.10

B. Akseptabilitas Konsep Integrasi Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Apabila dicermati, dari keempat katagorisasi problem pendidikan Islam seperti yang diuraikan di atas, masalah integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional,  secara implisit, masuk dalam katagori pertama, yakni problem dikotomi ilmu pengetahuan. Telah disinggung di muka bahwa pendidikan Islam yang telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional tersebut, baik secara eksplisit maupun implisit.
Dari catatan sejarah diketahui bahwa pendidikan Islam bermula dari pengajian-pengajian di rumah-rumah penduduk yang dilakukan oleh para penyebar agama Islam, kemudian berkembang menjadi pengajian di langgar/surau/masjid dan pondok pesantren seiring dengan berjalannya pertumbuhan kehidupan umat Islam pada waktu itu. Pada masa selanjutnya, muncul bentuk madrasah dan upaya untuk memasukkan pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ketika Indonesia merdeka, bentuk-bentuk sistem pendidikan Islam, baik pesantren, madrasah, maupun di sekolah-sekolah umum terus berlanjut, namun dengan perkembangan yang tampak menunjukkan ketertinggalan dari masyarakat sendiri disertai problem-problem yang telah dipaparkan di atas.
Implikasi yang bisa muncul dari dikotomi sistem pendidikan adalah timbulnya kesenjangan antara sumber ilmu, antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Dalam buku Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Kertanegara mengomentari hal itu sebagai berikut:
Para pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran sejati ... Di pihak lain, ilmuwan-ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan inderawi.11
Oleh karena itu, integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional merupakan bagian dari problem-problem tersebut. Menurut hemat penulis, pendekatan yang dilakukan hendaknya bersifat integratif. Sehubungan dengan itu, Depertemen Agama (sekarang Kementerian Agama) yang berdiri pada 3 Januari 1946 secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usahanya dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah. Secara lebih spesifik, usaha ini ditangani oleh bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah memberikan kesempatan untuk masuknya pengajaran agama di sekolah-sekolah, di samping mengakui sekolah agama (madrasah, yang diakui oleh Menteri Agama) sebagai lembaga penyelenggara wajib belajar. Ketetapan  (Tap) MPRS Nomor 2 Tahun 1960 menetapkan pemberian pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, di samping pengakuan bahwa pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang otonom di bawah pembinaan Departemen Agama.
 Tap MPRS Nomor 27 Tahun 1966 menetapkan bahwa agama, pendidikan, dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam nation and caracter building, sekaligus menetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok dan wajib diikuti oleh setiap peserta didik sesuai dengan agama masing-masing. Akhirnya, Tap MPR Nomor 2 Tahun 1988 tentang Asas Tunggal yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, lebih memantapkan usaha masuknya lembaga pendidikan keagamaan (pesantren dan madrasah) dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, lebih memantapkan pula usaha pengintegrasian pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional. 12
Segala peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah—yang  tampaknya mengarah kepada usaha integrasi tersebut—merupakan persiapan untuk menyusun dan mewujudkan undang-undang  tentang “satu sistem pendidikan dan pengajaran nasional”, sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 31 UUD 1945, seperti disinggung pada bagian awal makalah ini. Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang “lebih dikukuhkan” oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (juga tentang Sistem Pendidikan Nasional), usaha integrasi pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional mendapatkan dasar hukumnya yang mantap.

Simpulan
Dari berbagai uraian di atas, dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1. Dalam realitas sejarahnya, baik masa-masa prakemerdekaan maupun  awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah memberikan perhatian dan pengakuan yang relatif tinggi terhadap sumbangan besar pendidikan Islam dalam upaya mendidik dan mencerdaskan bangsa. Diskursus pengembangan pendidikan Islam yang menjadi perhatian para pengembang dan pemikirnya, agaknya semakin memperkaya khazanah pemikiran tentang pengembangan pendidikan Islam di Indonesia sekaligus lebih mengokohkan eksistensi bangunan pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu yang bersdiri sendiri.
2. Lahirnya sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai follow up terhadap amanat Pasal 31 UUD 1945 menggambarkan betapa akseptabilitas pemerintah dan masyarakat muslim Indonesia akan upaya integrasi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Khusus dengan disahkanya UU Nomor 2 Tahun 1989 dan UU Nomor 20 Tahun 2003, integrasi pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional mendapatkan dasar hukum yang mantap, baik dari aspek kelembagaan maupun isi kurikulumnya.
Implikasi Penelitian
1. Penyempurnaan sistem pendidikan Islam hendaknya dilakukan  dengan mempertimbangkan hasil evaluasi terhadap segi-segi yang masih lemah dan keliru.
2. Integrasi pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional telah mendapatkan landasan hukum yang kuat dari undang-undang. Permasalahannya terletak dalam kekhawatiran akan jaminan penanganan yang sungguh-sungguh dan fungsional jika konsep integrasi pendidikan agama tersebut  oleh pihak-pihak yang memiliki konmpetensi yang lemah dalam bidang itu.




1Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan, Manajemen Kelmbagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), h. 76. 
2Sintesis maksudnya adalah corak pengembangan pendidikan yang berusaha mempertemukan antara corak lama (pondok pesantren) dan corak baru (model pendidikan kolonial atau Barat) yang berwujud sekolah atau madrasah. Corak ini berkembang dalam beberapa variasi. Pertama, mengikuti pola pendidikan Barat, namun content-nya lebih menonjolkan ilmu-ilmu keislaman. Kedua,  mengutamakan mata pelajaran-mata pelajaran agama di samping mata pelajaran-mata pelajaran umum secara terbatas. Ketiga, menggabungkan  secara lebih seimbang antara muatan-muatan pendidikan keagamaan dan nonkeagamaan. Keempat,  mengikuti pola gubernemen  dengan ditambah pendidikan Barat (kolonial) dengan tambahan beberapa mata ppelajaran pelajaran agama. Lihat, ibid., h. 27.
3Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang pernyataan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, Undang-Undang Nomor 14 PR PS Tahun 1965 tentang Majelis Pendiidkan Nasional, dan Undang-Undang Nomor 19 NPS Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional. Lihat, Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007), h. vi.
4Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan dalam “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” (Jakarta: tp., 2006), h. 5. 
5Ibid., h. 8—9. 
6Lihat, A.M. Saefuddin (et.al.), Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi dalam “Konsep Pendidikan Agama sebuah Pendekatan Integratif-Inovatif” (Cet. I; Bandung: Mizan, 1987), h. 102.
7Muhaimin, op. cit., h. 85. Bandingkan dengan, A.M. Saefuddin (et.al.), op. cit., h. 103—105.
8A.M. Saefuddin (et.al.), op. cit., h. 106.
9 Haidar Putra Daulay, op. cit., h. 114.
10Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), h. 98.
11Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Artasy Mizan, 2005), h. 22—23.
12Lihat, Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), h. 204—213. Lihat juga, Muhaimin, op. cit., h. 83—84.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayyin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Edisi Revisi, Cet. II; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 1999.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Cet. II; Jakarta: Kencana, 2007.
Kertanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy Mizan, 2005.
Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan, Manajemen Kelmbagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009.
Saefuddin, A.M. (et.al.). Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Cet. I; Bandung: Mizan, 1987.
Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan dalam “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional”. Jakarta: tp., 2006.

Yuk, Bagikan!

Posting Komentar

Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!

 
Copyright © 2014. Qalamedia Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger