Home » » M. Quraish Shihab: POLIGAMI DAN KAWIN SIRRI MENURUT ISLAM

M. Quraish Shihab: POLIGAMI DAN KAWIN SIRRI MENURUT ISLAM

Oleh: A.A. Danie | 10 Okt 2012 | 21.31




Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki 
dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd al-nikah. Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali-temali dari tiga rangkaian pengikat: cinta (mawaddah), rahmah (kondisi psikologis yang muncul di dalam hati untuk melakukan pemberdayaan),
 dan amanah (ketenteraman). 

Tulisan ini sesungguhnya adalah makalah yang disajikan oleh M. Quraish Shihab pada Semiloka Sehari “Poligami di Mata Kita” yang diselenggarakan di Denpasar oleh BKOW Daerah Bali pada tanggal 26 Mei 2007 dalam rangka Hari Kartini. Disunting dan di-post-kan via FB oleh Gus Im (Imam Puji Hartono) pada 02 Maret 2010, didokumentasikan oleh Caksyam pada 03 Maret 2010, di-post-kan oleh Ikadi Maros (FB) pada 10 Oktober 2012, dan kembali di-post-kan oleh Qalamedia Online setelah dilakukan penyuntingan pungtuasi seperlunya. 


POLIGAMI DAN KAWIN SIRRI MENURUT ISLAM
Oleh M. Quraish Shihab

Pendahuluan

Poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan”. Kata tersebut dapat mencakup pologini yakni “sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama”, maupun sebaliknya, yakni poliandri, ketika seorang wanita memiliki/mengawini sekian banyak lelaki. 

Poligami dalam kedua makna di atas dahulu kala dikenal oleh masyarakat umat manusia, tetapi kemudian agama dan budaya melarang poliandri dan masih membuka pintu untuk terlaksananya poligami. 

Makalah ini akan membahas poligami secara terbatas, bukan poliandri, bukan saja karena secara umum orang memahami kata poligami dalam arti terbatas itu, tetapi juga karena poliandri tidak dikenal dalam masyarakat beradab, apalagi masyarakat Indonesia. 

Poligami dahulu dilakukan oleh banyak lelaki terhormat, serta diterima tanpa menggerutu oleh perempuan-perempuan yang dimadu. Sementara orang berkata bahwa poligami lahir akibat penguasaan dan penindasan lelaki atas perempuan. Tetapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena sejarah umat manusia pun pernah mengenal dan membenarkan sistem poliandri. Will Durant sejarawan Amerika dalam bukunya The Lesson of History menunjuk antara lain Tibet, sebagai lokasi maraknya poliandri. Nah apakah ini berarti bahwa di sana terjadi dominasi kekuasaan perempuan atas lelaki? 

Ternyata tidak! Kondisi perempuan di Barat pada abad-abad pertengahan tidak lebih baik–kalau enggan berkata lebih buruk—daripada kondisi perempuan di Timur, sebagaimana diakui oleh penulis-penulis Barat yang objektif. Meski demikian, mengapa poligami di Barat tidak semarak di Timur? Jadi, masalahnya bukan akibat penindasan lelaki atas perempuan, apalagi bukankah sekian banyak perempuan yang dijadikan isteri kedua atau ketiga, justru secara sadar dan suka rela bersedia untuk dimadu? Seandainya mereka—dahulu atau kini—tidak bersedia, pasti jumlah lelaki yang berpoligami akan sangat sedikit. 

Agaknya, poligami marak pada masa lalu karena “nurani” dan rasa keadilan lelaki maupun perempuan tidak terusik olehnya. Kini “rasa keadilan” berkembang sedemikian rupa akibat maraknya seruan HAM dan persamaan gender, sehingga mengantar kepada perubahan pandangan terhadap banyak hal, termasuk poligami. Apalagi, ketergantungan perempuam kepada lelaki tidak lagi serupa dengan masa lalu akibat pencerahan dan kemajuan yang diraih perempuan dalam berbagai bidang. 


Poligami dan Agama-Agama


Secara umum, dapat dikatakan bahwa poligami pada dasarnya dibenarkan oleh agama-agama. Dalam Perjanjian Lama—misalnya—disebutkan bahwa Nabi Sulaiman memiliki tujuh ratus isteri bangsawan dan tiga ratus gundik (Perjanjian Lama, Raja-Raja I-11-4). Nabi Ibrahim juga berpoligami, paling tidak beliau memiliki dua orang isteri. Gereja-gereja di Eropa pun mengakui poligami hingga akhir abad XVII atau awal abad XVIII. Ini karena tidak ada teks yang jelas dalam Perjanjian Baru yang melarang poligami. Bahkan, kalau kita menyatakan bahwa dalam Perjanjian Lama poligami dibenarkan, terbukti antara lain dengan apa yang dikutip di atas, sedang Nabi Isa as. tidak datang untuk membatalkan Perjanjian Lama, sebagaimana pernyataan beliau sendiri (Matius V-17), maka itu berarti beliau juga membenarkannya.

Sekian banyak alasan logika yang dikemukakan oleh para pendukung poligami menyangkut bolehnya poligami. Mereka berkata “Perbandingan jumlah lelaki dan perempuan menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak, baik karena kelahiran dan ketangguhan wanita menghadapi penyakit, maupun karena dampak peperangan yang mengakibatkan banyaknya lelaki yang gugur”. 

Di sisi lain, kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang dapat terjadi bagi siapapun? Ketika itu, apakah jalan keluar yang diusulkan menghadapi kasus demikian? Bagaimana menyalurkan kebutuhan biologis seorang lelaki untuk memperoleh keturunan? Menahannya sehingga menimbulkan stress atau berhubungan gelap dengan perempuan lain, atau kawin secara sah (berpoligami) tetapi dengan syarat adil dan baik-baik? Tentu saja, alasan-alasan di atas dapat didiskusikan–sehingga bisa saja diterima atau ditolak–sesuai dengan pandangan dasar masing-masing atau agama dan budaya yang dianutnya. 



Islam dan Poligami


Islam pada dasarnya membolehkan poligami berdasarkan firman-Nya, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisâ’[4]: 3). 

Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi pada ayat di atas. Pertama, ayat ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan adat istiadat masyarakat. Ia tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkanya. Ia, hanya berbicara tentang bolehnya poligami bagi orang-orang dengan kondisi tertentu. Itu pun diakhiri dengan anjuran untuk bermonogami dengan firman-Nya, “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. 

Adalah wajar bagi satu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat, untuk mempersiapkan ketetapan hukum bagi kasus yang bisa jadi terjadi satu ketika, walaupun baru merupakan kemungkinan. 

Seandainya ayat itu berupa anjuran, pastilah Tuhan menciptakan perempuan empat kali lipat dari jumlah lelaki, karena tidak ada arti Anda—apalagi Tuhan—menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang memerlukannya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contohnya di atas. Tentu saja, masih bisa ada kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan dengan syarat yang tidak ringan itu. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kondisi dan situasi apapun yang dibenarkan itu tidak mengandung makna anjuran berpoligami. Justru sebaliknya, tuntunan dan tujuan perkawinan dapat dinilai ajakan untuk tidak berpoligami, apapun kondisi dan situasi yang dihadapi oleh suami-isteri, sebagaimana akan disinggung nanti. 


Kedua, firman-Nya “jika kamu takut” mengandung makna jika kamu mengetahui. Ini berarti, siapa yang yakin atau menduga, bahkan menduga keras, tidak akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, sayogianya tidak diizinkan berpoligami.


Kita tidak dapat membenarkan siapa yang berkata bahwa poligami adalah anjuran, dengan alasan bahwa Nabi Muhammad saw. kawin lebih dari satu, karena tidak semua yang dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya. Memang tidak jarang bagi yang menyandang tugas tertentu, memperoleh kelebihan-kelebihan, baik kewajiban maupun hak. Itu adalah konsekuensi dari tugas yang diemban. Belum tentu, apa yang terlihat sebagai keistimewaan dalam hakikat dan kenyataannya demikian. Perkawinan Nabi Muhammad saw. dengan sekian banyak isteri jelas bukan untuk tujuan pemenuhan kebutuhan seksual karena isteri-isteri beliau itu pada umumnya adalah janda-janda yang sedang atau segera akan memasuki usia senja. Di sisi lain, perlu disadari bahwa Rasul saw. baru berpoligami setelah isteri pertamanya wafat. 

Perkawinan beliau dalam bentuk monogami itu berjalan selama 25 tahun. Setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya isteri pertama beliau (Khadijah) barulah beliau berpoligami (menggauli ‘Aisyah ra.). Beliau ketika itu berusia sekitar 55 tahun, sedangkan beliau wafat dalam usia 63 tahun. Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu sekitar delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup bermonogami, baik dihitung berdasar masa kenabian, lebih-lebih jika dihitung seluruh masa perkawinan beliau. Jika demikian, maka mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani? Mengapa juga tidak meneladaninya dalam memilih calon-calon isteri yang telah/hampir mencapai usia senja?

Kendati penulis tidak sependapat dengan mereka yang ingin menutup mati pintu poligami, namun penulis menilai bahwa berpoligami bagaikan pintu darurat dalam pesawat udara, yang tidak dapat dibuka kecuali saat situasi sangat gawat dan setelah diizinkan oleh pilot. Yang membukanya pun haruslah mampu, karena itu tidak diperkenankan duduk di samping emergency door kecuali orang-orang tertentu. 

Sementara orang melarang poligami dengan alasan dampak buruk yang diakibatkannya. Longgarnya syarat, ditambah dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang tujuan perkawinan, telah mengakibatkan mudârat yang bukan saja menimpa isteri–isteri yang seringkali saling cemburu berlebihan, tetapi juga menimpa anak-anak, baik akibat perlakuan ibu tiri maupun perlakuan ayahnya sendiri, bila sangat cenderung kepada salah satu isterinya. Perlakuan buruk yang dirasakan oleh anak dapat mengakibatkan hubungan antar anak-anak pun memburuk, bahkan sampai kepada memburuknya hubungan antar keluarga. Dampak buruk inilah yang mengantar sementara orang melarang poligami secara mutlak. 

Tetapi, perlu diketahui bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk yang dilukiskan di atas adalah yang dilakukan oleh mereka yang tidak mengikuti tuntunan hukum dan agama. Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu, apalagi bila pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat. Di sini perlu disadari bahwa dalam masyarakat yang melarang poligami atau menilainya buruk, baik di Timur lebih-lebih di Barat, telah mewabah hubungan seks tanpa nikah, muncul wanita-wanita simpanan, dan pernikahan-pernikahan di bawah tangan. Ini berdampak sangat buruk, lebih-lebih terhadap perempuan-perempuan.

Di sini, kalau kita membandingkan hal tersebut dengan poligami bersyarat, kita akan melihat betapa hal itu jauh lebih manusiawi dan bermoral dibanding dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat yang melarang poligami.


Tujuan dan Tali-Temali Perkawinan


Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd al-nikâh. Kata ’aqd berarti “ikatan”, sedang nikâh berarti “penyatuan”.
Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat. Pertama, cinta atau mawaddah, menurut bahasa kitab suci al-Quran. Mawaddah adalah cinta yang disertai dengan kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Oleh karena itu, yang bersemai mawaddah dalam hatinya tidak lagi akan memutuskan hubungan, ini disebabkan oleh  hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintu hatinya telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya).


Kedua, rahmah. Ia adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati karena menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan. Rahmat menghasilkan kesabaran, murah hati. Rahmat diperlukan sebagai pengikat perkawinan. Karena, betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi. Di samping itu, bisa jadi potensi mawaddah yang terdapat dalam lubuk hati setiap suami atau isteri, belum terasah dengan baik. Sehingga, mawaddah belum mencapai tingkat yang dapat menjamin kelanggengan hubungan harmonis. Bisa jadi, juga ada unsur lain—katakanlah kelahiran anak—yang menjadikan mawaddah mengalami erosi. Nah, di sinilah faktor rahmat berperanan.


Rahmat—walau tanpa cinta—mempunyai peranan yang sangat besar dalam membendung kebutuhan pribadi dan berkorban. Seorang suami boleh jadi mendambakan anak, tetapi isterinya mandul. Atau, bisa jadi dorongan seksualnya tidak terpenuhi melalui seorang isteri, sehingga mendorongnya berpoligami. Tetapi, jika ia menyadari bahwa hal tersebut akan sangat menyakitkan isterinya, rahmat yang menghiasi dirinya terhadap isterinya membendung keinginan tersebut. Ketika itu, si suami akan ”berkorban“ demi mawaddah dan kasihnya. Demikian juga dapat terjadi pada isteri, ia akan merasakan kepedihan karena kebutuhan suami atau keinginannya yang tidak terpenuhi, sehingga rahmat yang terhunjam dalam jiwanya akan mengundangnya berkorban dan ”menutup mata“. 


Ketiga, amanah. Amanah berasal dari akar kata yang sama dengan kata “aman”, yang bermakna “tenteram”. Juga, sama dengan kata “iman” yang berarti “percaya”. Ketiganya berbeda, tetapi dalam saat yang sama masing-masing memilikinya. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu akan dipelihara dengan baik, serta aman keberadaannya di tangan yang diberi amanat itu. 


Isteri adalah amanah di pelukan sang suami dan suami pun amanah di pelukan sang istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami, demikian juga isteri, tidak akan menjalin hubungan kecuali jika masing-masing merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Perkawinan bukan hanya amanat dari mereka, tetapi juga amanat dari Tuhan Yang Mahakuasa.

Ketiga hal tersebut yang melahirkan sakinah (ketenangan batin) yang merupakan tujuan perkawinan. Sekali lagi, di sini ditemukan penghalang bagi poligami, karena dengan berpoligami terjadi keresahan, khususnya bagi mereka yang peka terhdap rasa keadilannya. 

Pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah, dalam bukunya Al-Ahwâl al-Syakhshiyyah, menegaskan bahwa tidak terdapat dalam teks ayat al-Quran yang menghalangi pemerintah menetapkan syarat-syarat yang mengantar kepada keadilan, pergaulan baik, dan kewajiban infak dalam hal perkawinan. “Tidak ada teks keagamaan yang melarang untuk menempuh jalan itu“. 

Yang ingin penulis kemukakan dengan kutipan di atas,  banyak jalan yang dapat ditempuh guna menghalangi ketidakadilan terhadap perempuan, termasuk dalam hal poligami, tanpa harus mengorbankan teks atau memberinya penafsiran yang sama sekali tidak sejalan dengan kandungannya. 


Kawin Sirri


Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak boleh dilakukan secara diam-diam, tanpa saksi-saksi, bahkan seharusnya atau paling tidak dengan restu wali. Islam menganjurkan agar dilakukan pesta, walau sederhana, dan dirayakan dengan bunyi-bunyian (musik). Karena itu pula, siapa yang diundang ke walimah (pesta pernikahan), dia sangat dianjurkan untuk menghadirinya. Jika dia tidak berpuasa, hendaklah dia makan. Tapi bila berpusa, cukup menghadirinya saja. Ini bukan saja untuk menampakkan kegembiraan dengan terjalinnya pernikahan itu, tetapi juga sebagai kesaksian, sehingga dapat menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi muncul atau penganiayaan yang dapat terjadi atas salah satu pasangan. 

Saksi pernikahan minimal dua orang. Memang terjadi perbedaan pendapat, apakah jika telah hadir dua orang saksi pernikahan, lalu mereka diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, apakah ini termasuk nikah sirri atau bukan? Imam Malik berpendapat bahwa itu termasuk perkawinan sirri, yakni terlarang. Pendapat ini sangat logis dan tepat karena sejalan dengan fungsi penyebarluasan berita perkawinan serta lebih mendukung penampikan isu-isu negatif terhadap pasangan lelaki dan perempuan. 

Dengan diumumkannya perkawinan,  tidak juga akan hilang hak-hak masing-masing jika seandainya terjadi perceraian, baik perceraian mati maupun perceraian hidup. Hak anak yang dilahirkan pun akan menjadi jelas siapa orang tuanya. Dalam kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, diharuskan adanya pencatatan pernikahan demi terjaminnya ketertiban dan menghalangi terjadinya persengketaan tanpa penyelesaian. Hal ini berlaku hampir di seluruh negeri bermasyarakat Islam. 
Demikian. Wa Allah ‘A’lam, semoga bermanfaat.

Yuk, Bagikan!

+ komentar + 6 komentar

Anonim
25 April 2013 pukul 14.34

Asslmkm…wrwb

"laki2 jaman sekarang biasanya mati2an menentang atau berusaha menutup2i fakta ini"

Berdasarkan sensus penduduk 2000 dan 2010 ternyata justru JUMLAH PRIA DI INDONESIA LEBIH BANYAK DARI WANITANYA.
Begitu juga dengan data2 negara2 di dunia (CIA, Bank Dunia, dll) ternyata jumlah pria juga lebih banyak dari wanitanya (terutama untuk China, India, dan negara-negara di semenanjung Arab)

Yup jumlah wanita memang sangat melimpah tapi di usia di atas 65 tahun, mauu?? hehehe....kalo ngebet, silakan berpoligami dengan golongan wanita di usia ini.

Coba dehh cek di data resmi BPS dan masing2 pemda atau coba klik di:

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=40&notab=1

http://sp2010.bps.go.id/

http://www.datastatistik-indonesia.com/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=211&Itemid=211&limit=1&limitstart=2

http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=penduduk_ratio&info1=4

http://www.census.gov/population/international/data/worldpop/tool_population.php

http://health.detik.com/read/2011/10/28/164741/1755096/763/negara-yang-jumlah-prianya-lebih-banyak-bisa-berbahaya?l993306763

http://nasional.kompas.com/read/2010/08/16/20585145/Siapa.Bilang.Wanita.Lebih.Banyak-8

berdasarkan hasil sensus tersebut kira2 apa ya solusi dari kelebihan pria ini?
masih tetap POLIGAMI? bukannya itu malah akan semakin "merampas" kesempatan bujangan pria lain untuk dapat menikah?

perkiraan dan anggapan selama ini "turun temurun" yang selalu dijadikan senjata bagi pria yang ngebet ingin berpoligami bahwa jumlah wanita saat ini jauh berlipat lipat di atas pria ternyata adalah SALAH BESAR

Hasil Sensus Penduduk 2010 berdasar jenis kelamin perpropinsi
Kode, Provinsi, Laki-laki, Perempuan, Total Penduduk
(1), (2), (3), (4), (5),
1 Aceh, 2 248 952, 2 245 458, 4 494 410
2 Sumatera Utara, 6 483 354, 6 498 850, 12 982 204
3 Sumatera Barat, 2 404 377, 2 442 532, 4 846 909
4 Riau, 2 853 168, 2 685 199, 5 538 367
5 Jambi, 1 581 110, 1 511 155, 3 092 265
6 Sumatera Selatan, 3 792 647, 3 657 747, 7 450 394
7 Bengkulu, 877 159, 838 359, 1 715 518
8 Lampung, 3 916 622, 3 691 783, 7 608 405
9 Bangka Belitung , 635 094, 588 202, 1 223 296
10 Kepulauan Riau, 862 144, 817 019, 1 679 163
11 DKI Jakarta, 4 870 938, 4 736 849, 9 607 787
12 Jawa Barat, 21 907 040, 21 146 692, 43 053 732
13 Jawa Tengah, 16 091 112, 16 291 545, 32 382 657
14 DI Yogyakarta, 1 708 910, 1 748 581, 3 457 491
15 Jawa Timur, 18 503 516, 18 973 241, 37 476 757
16 Banten, 5 439 148, 5 193 018, 10 632 166
17 Bali, 1 961 348, 1 929 409, 3 890 757
18 Nusa Tenggara Barat, 2 183 646, 2 316 566, 4 500 212
19 Nusa Tenggara Timur, 2 326 487, 2 357 340, 4 683 827
20 Kalimantan Barat, 2 246 903, 2 149 080, 4 395 983
21 Kalimantan Tengah, 1 153 743, 1 058 346, 2 212 089
22 Kalimantan Selatan, 1 836 210, 1 790 406, 3 626 616
23 Kalimantan Timur, 1 871 690, 1 681 453, 3 553 143
24 Sulawesi Utara, 1 159 903, 1 110 693, 2 270 596
25 Sulawesi Tengah, 1 350 844, 1 284 165, 2 635 009
26 Sulawesi Selatan, 3 924 431, 4 110 345, 8 034 776
27 Sulawesi Tenggara, 1 121 826, 1 110 760, 2 232 586
28 Gorontalo, 521 914, 518 250, 1 040 164
29 Sulawesi Barat, 581 526, 577 125, 1 158 651
30 Maluku, 775 477, 758 029, 1 533 506
31 Maluku Utara, 531 393, 506 694, 1 038 087
32 Papua Barat, 402 398, 358 024, 760 422
33 Papua, 1 505 883, 1 327 498, 2 833 381
Indonesia, 119 630 913, 118 010 413, 237 641

Terima Kasih...

Wassalam

25 April 2013 pukul 14.55

Wa'alaikumussalam wr. wb.,
"Ibu/Mba (?) Anonimous" yth....,
Boleh jadi data yg Anda ungkapkan di atas tantang perbandingan jmlh laki-laki - perempuan adalah benar, tapi itu bukanlah "alasan" bagi Tuhan untuk "melarang" poligami. Iya 'kan?

Anonim
14 Mei 2013 pukul 12.00

berdasarkan hasil sensus tersebut kira2 apa ya solusi dari kelebihan pria ini?
masih tetap POLIGAMI? bukannya itu malah akan semakin "merampas" kesempatan bujangan pria lain untuk dapat menikah?

kan poligami emang hukum asalnya mubah (boleh) bukan sunnah loh, gak ada larangan. tapi lihat deh kondisi jaman sekarang

logikanya...saat ini, semakin banyak pria berpoligami, semakin banyak pria yang terancam jadi bujang lapuk

18 Mei 2013 pukul 18.52

Berdasarkan hasil data sensus itu (kalau itu juga benar dan objektif?), apa mungkin itu bisa "me-nasakh" hukum bolehnya poligami?

Tentang "bujang lapuk" vs "perawan toa", ada ga hasil "sensus" lagi, mana yang banyak? Monggo di-share data terbarunya kalau ada!

Anonim
29 Mei 2013 pukul 15.07

gak ada yang membatalkan atau melarang hukum mubah poligami dengan apapun, lawong tercantum dalam Qur'an. lahh kan mubah (boleh) dijalankan monggo gak juga oke2 aja. asal semua syarat dan kondisi terpenuhi. namun perlu ditinjau ulang lebih banyak mana manfaat dan mudzorotnya. mmmmm kalo kondisi sekarang kira2 gimana ya? hehehe

gak adalaaah sensus tentang bujang lapuk dan perawan tua.... cuma secara logika. dengan total jendral jumlah untuk seluruh usia aja lebih banyak prianya, apalagi dikurangi kelebihan membludak jumlah wanita diatas 65 tahun plus jumlah wanita yang dipoligami, akan semakin kasihan saudara laki2 kita yang belum "dapat jatah" di usia menikah

Anonim
14 Maret 2019 pukul 00.22

Jadi di Indonesia lebih cocok wanita menikahi 2pria kali ya...

Posting Komentar

Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!

 
Copyright © 2014. Qalamedia Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger