Ternyata kita begitu sudah sangat menikmati hidup sebagai "bangsa". Di bawah bendera besar yang bernama "nasionalisme" kita berdiri. Tidak mengapa, karena cinta bangsa adalah salah satu indikator keimanan (maaf, saya tdk mengatakan ini hadis Nabi saw.!).
Menikmati hidup sebagai bangsa tentu bukan dosa, bahkan wajib hukumnya. Yang dosa adalah ketika rasa nasionalisme itu membuat kita berada di dalam kotak yang sempit dan tertutup sehingga--saking sempit dan tertutupnya--kita terbiasa "mendengarkan" teriakan saudara kita di belahan lain dari bumi Tuhan ini, namun enggan mengakuinya sebagai "saudara". Di dalam kesempitan dan ketertutupan itu pula kita sering berdalih, "Ngapain juga kita mesti pikirin masalah bangsa lain? Masalah dalam negeri saja masih terlalu banyak untuk diatasi... Korupsi, kelaparan, tawuran, terorisme, serta seabrek persoalan lainnya itulah yang seharusnya menjadi fokus kita dan bukannya memikirkan penderitaan, kelaparan, isak-tangis bangsa lain!"
Huh! Sudah seindividualis itukah kita? Ataukah memang sudah itukah yang disebut sebagai nasionalis sejati? Sudah lupakah kita akan firman Tuhan serta sabda-sabda Nabi kita (atau jangan-jangan memang kita belum pernah--atau tidak mau--membaca dan mendengarkannya?
"Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara..." (QS. al-Hujurat: 10).
Nabi saw. bersabda, "Seorang muslim bersaudara dengan sesama muslim, tidak menganiyayanya dan tidak akan dibiarkan dianiaya orang lain. Dan siapa yang menunaikan hajat saudaranya, Allah akan menunaikan hajatnya. Siapa yang melapangkan kesusahan seorang muslim, Allah akan melapangkan kesukarannya di hari kiamat, dan siapa yang menutupi (menjaga kehormatan) seorang muslim maka Allah akan menutupi (menjaga kehormatan)-nya pada hari kiamat." (HR. Bukhari dan Muslim dari 'Abdullah ibn 'Umar).
Sepertinya, belum ada ahli tafsir baik yang klasik maupun kontemporer yang menyatakan bahwa nas-nas suci itu pemberlakuannya dibatasi oleh dinding geografis yang bernama "bangsa". Dan, kalau itu memang benar, sepertinya kita harus berbesar jiwa untuk melakukan redefinisi pemaknaan kita terhadap makna "nasionalisme".
Sepertinya, belum ada ahli tafsir baik yang klasik maupun kontemporer yang menyatakan bahwa nas-nas suci itu pemberlakuannya dibatasi oleh dinding geografis yang bernama "bangsa". Dan, kalau itu memang benar, sepertinya kita harus berbesar jiwa untuk melakukan redefinisi pemaknaan kita terhadap makna "nasionalisme".
Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!