Home » , » Munajat Visioner Sang Nabi

Munajat Visioner Sang Nabi

Oleh: A.A. Danie | 28 Okt 2012 | 21.49



Lebih dari 4000 tahun lalu, tiga anak manusia, dengan bekal secukupnya, berjalan kaki sejauh 2000 km melintasi gurun pasir dari Syam menuju ke lembah tandus yang tak berpenghuni, Bakkah. Mereka adalah satu keluarga: Ibrahim, sang ayah, Ismail, sang anak yang masih bayi, dan Hajar, sang ibu. Dapatkah Anda menghitung bhw jarak tempuh mereka mungkin sebanding dengan jarak Palu-Jakarta? 

Di lembah Bakkah, mereka memulai kehidupan baru tanpa siapa-siapa. Ya, cuma mereka bertiga. Tidak lama setelah itu, sang ayah mendapat perintah dari Zat Yang Mahakuasa untuk kembali ke negeri asalnya dan melanjutkan tugas-tugas sucinya di sana.

Sungguh, ia takkuasa memberitahukan perintah itu kepada istrinya. Namun, harus bagaimana? Dengan terbata-bata, akhirnya, disampaikannya juga instruksi itu....

"Apakah Kakanda akan meninggalkan kami di sini, di gurun gersang tak berpenghuni ini, tanpa siapa-siapa?", tanya istrinya dengan sendu. Ibrahim hanya terdiam karena sungguh memang ia tidak memiliki jawabannya dari sudut pandang manusiawi.

"Atas perintah Allahkah ini wahai Kakanda?"
"Ya...", jawab sang suami dengan lirih.

Menurut Anda, apakah ini? Logika mana yang dapat menerima seorang ayah harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih merah di sana? Dapat dibayangkan, kalau saja pada waktu itu sudah berdiri Komnas HAM, pastilah Ibrahim a.s. sudah diseretnya ke pengadilan HAM karena dakwaan pelanggaran HAM berat.

Tapi, begitulah. Tidaklah semua hal dan peristiwa di dunia ini dapat dilogikakan oleh manusia. Yang dapat menerima rumus logika hanyalah yang sifatnya “rasionable”, sedangkan hal-hal yang suprarasional, bukan menjadi wilayah garapannya. 

Jalur Perjalanan Nabi Ibrahim a.s.
Seandainya Anda dihadapkan pada kondisi itu, lantas apa yang Anda prioritaskan dalam permintaan kepada-Nya? Mungkinkah Anda akan berkata, “Wahai Tuhanku, aku telah memenuhi perintah-Mu untuk membawa keluargaku ke lembah gersang ini; dan atas perintah dari-Mu juga aku segera akan meninggalkan mereka. Cukupkanlah rezeki mereka, ya Allah, agar mereka bisa bertahan hidup ...”. Menurut hemat saya, doa ini amat pantas untuk dipanjatkan dalam situasi krisis seperti itu. Alasan yang sering kali didengarkan, “Bagaimana kami bisa beribadah dengan tenang kalau perut kami lapar?”
Tetapi, lagi-lagi Ibrahim menggunakan logika yang berbeda.

Sebelum meninggalkan mereka di lembah itu, Ibrahim menengadah ke langit. Dengan tangan terangkat, ia menggumamkan beberapa penggal doa, bukan untuk menunjukkan kegalauan hatinya, melainkan sebaliknya. Untaian munajat itu justeru untuk mempertegas keyakinannya akan kepastian jaminan yang diberikan oleh Dia, Sang Pembuat Sekenario, yang memilih ia dan keluarganya sebagai pemeran utama.

“Ya, Tuhan kami”, demikian orang tua suci itu memulai doanya, “Sungguh aku telah menempatkan dzurriyat (istri dan anak)-ku untuk menetap di lembah yang taktertumbuhi tanaman apa pun, di sisi rumah-Mu yang disucikan. Tuhan kami, semua itu kulakukan agar mereka mendirikan salat. Maka penuhilah hati sebagian manusia dengan cinta kepada mereka dan rezekikan kepada mereka buah-buahan agar mereka bersyukur” (Q.S. Ibrahim: 37).
Sungguh sebuah doa yang visioner dari seorang visioner! Dan, lihatlah, bagaimana ia menjadikan “rezeki buah-buahan” sebagai prioritas terakhir dalam permohonannya itu.

Dalam bagian munajat-munajatnya yang lain, lelaki suci ini kembali menunjukkan visi futuristiknya yang cemerlang. Saat itu, ia telah meng-install  di alam bawah sadarnya bahwa sebentar lagi lembah Bakkah yang gersang, tandus, dan tidak berpenghuni itu akan menjadi kawasan yang makmur, aman, dan sejahtera. Lihatlah, bagaimana visi itu dituangkan dalam doa.

“Wahai Rabb, jadikanlah kawasan ini negeri yang aman dan berikanlah rezeki kepada penduduknya berupa buah-buahan yang banyak...” (Q.S. al-Baqarah: 126).

“Wahai Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah, serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana.” (Q.S. al-Baqarah: 132).

Kini, setelah doa-doa itu dipohonkan, Ibrahim a.s. pun bisa lega. Ia kemudian melanjutkan bagian demi bagian sekenario yang diperintahkan oleh Allah kepadanya untuk dilakoni. Dikorbankannya segala kerinduan dan kecintaan yang membara di dalam dadanya. Dengan langkah yang dibarengi kemantapan tawakal, ia meninggalkan lembah itu dan kembali menuju Syam. (Bersambung, insyallah).
Yuk, Bagikan!

Posting Komentar

Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!

 
Copyright © 2014. Qalamedia Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger