Lebih dari 4000 tahun lalu, tiga anak
manusia, dengan bekal secukupnya, berjalan kaki sejauh 2000 km melintasi gurun
pasir dari Syam menuju ke lembah tandus yang tak berpenghuni, Bakkah. Mereka
adalah satu keluarga: Ibrahim, sang ayah, Ismail, sang anak yang masih bayi,
dan Hajar, sang ibu. Dapatkah
Anda menghitung bhw jarak tempuh mereka mungkin sebanding dengan jarak
Palu-Jakarta?
Di lembah Bakkah, mereka memulai kehidupan baru tanpa siapa-siapa. Ya, cuma mereka bertiga. Tidak lama setelah itu, sang ayah mendapat perintah dari Zat Yang Mahakuasa untuk kembali ke negeri asalnya dan melanjutkan tugas-tugas sucinya di sana.
Sungguh, ia takkuasa memberitahukan perintah itu kepada istrinya. Namun, harus bagaimana? Dengan terbata-bata, akhirnya, disampaikannya juga instruksi itu....
"Apakah Kakanda akan meninggalkan kami di sini, di gurun gersang tak berpenghuni ini, tanpa siapa-siapa?", tanya istrinya dengan sendu. Ibrahim hanya terdiam karena sungguh memang ia tidak memiliki jawabannya dari sudut pandang manusiawi.
"Atas perintah Allahkah ini wahai Kakanda?"
"Ya...", jawab sang suami
dengan lirih.
Menurut Anda, apakah ini? Logika mana yang dapat menerima seorang ayah harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih merah di sana? Dapat dibayangkan, kalau saja pada waktu itu sudah berdiri Komnas HAM, pastilah Ibrahim a.s. sudah diseretnya ke pengadilan HAM karena dakwaan pelanggaran HAM berat.
Tapi, begitulah. Tidaklah semua hal dan peristiwa di dunia ini dapat dilogikakan oleh manusia. Yang dapat menerima rumus logika hanyalah yang sifatnya “rasionable”, sedangkan hal-hal yang suprarasional, bukan menjadi wilayah garapannya.
Jalur Perjalanan Nabi Ibrahim a.s. |
Seandainya
Anda dihadapkan pada kondisi itu, lantas apa yang Anda prioritaskan dalam
permintaan kepada-Nya? Mungkinkah Anda akan berkata, “Wahai Tuhanku, aku telah
memenuhi perintah-Mu untuk membawa keluargaku ke lembah gersang ini; dan atas
perintah dari-Mu juga aku segera akan meninggalkan mereka. Cukupkanlah rezeki
mereka, ya Allah, agar mereka bisa bertahan hidup ...”. Menurut hemat saya, doa
ini amat pantas untuk dipanjatkan dalam situasi krisis seperti itu. Alasan yang
sering kali didengarkan, “Bagaimana kami bisa beribadah dengan tenang kalau
perut kami lapar?”
Tetapi,
lagi-lagi Ibrahim menggunakan logika yang berbeda.
Sebelum
meninggalkan mereka di lembah itu, Ibrahim menengadah ke langit. Dengan tangan
terangkat, ia menggumamkan beberapa penggal doa, bukan untuk menunjukkan
kegalauan hatinya, melainkan sebaliknya. Untaian munajat itu justeru untuk
mempertegas keyakinannya akan kepastian jaminan yang diberikan oleh Dia, Sang
Pembuat Sekenario, yang memilih ia dan keluarganya sebagai pemeran utama.
“Ya,
Tuhan kami”, demikian orang tua suci itu memulai doanya, “Sungguh aku telah
menempatkan dzurriyat (istri dan anak)-ku untuk menetap di lembah yang
taktertumbuhi tanaman apa pun, di sisi rumah-Mu yang disucikan. Tuhan kami,
semua itu kulakukan agar mereka mendirikan salat. Maka penuhilah hati sebagian
manusia dengan cinta kepada mereka dan rezekikan kepada mereka buah-buahan agar
mereka bersyukur” (Q.S. Ibrahim: 37).
Sungguh
sebuah doa yang visioner dari seorang visioner! Dan, lihatlah, bagaimana ia
menjadikan “rezeki buah-buahan” sebagai prioritas terakhir dalam permohonannya
itu.
Dalam
bagian munajat-munajatnya yang lain, lelaki suci ini kembali menunjukkan visi
futuristiknya yang cemerlang. Saat itu, ia telah meng-install di alam bawah sadarnya bahwa sebentar lagi
lembah Bakkah yang gersang, tandus, dan tidak berpenghuni itu akan menjadi
kawasan yang makmur, aman, dan sejahtera. Lihatlah, bagaimana visi itu
dituangkan dalam doa.
“Wahai
Rabb, jadikanlah kawasan ini negeri yang aman dan berikanlah rezeki
kepada penduduknya berupa buah-buahan yang banyak...” (Q.S. al-Baqarah:
126).
“Wahai
Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka yang
akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, mengajarkan kepada mereka al-Kitab
dan al-Hikmah, serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang
Mahakuasa lagi Mahabijaksana.” (Q.S. al-Baqarah: 132).
Kini,
setelah doa-doa itu dipohonkan, Ibrahim a.s. pun bisa lega. Ia kemudian melanjutkan
bagian demi bagian sekenario yang diperintahkan oleh Allah kepadanya untuk
dilakoni. Dikorbankannya segala kerinduan dan kecintaan yang membara di dalam
dadanya. Dengan langkah yang dibarengi kemantapan tawakal, ia meninggalkan
lembah itu dan kembali menuju Syam. (Bersambung, insyallah).
Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!