Dalam rentang waktu sakitku yang panjang ini, kucoba meyimak
"rencana" Allah untukku. Apakah aku terpancing untuk berkeluh-kesah
atau tidak. Apakah tergerak hatiku untuk menggugat keputusan-Nya atasku atau
tidak. Akankah itu menjadi hikmah untukku?
Ya Allah, banyak maw'izhah yang kuperoleh dari
kondisi sakit ini. Pertama sekali adalah pemantapan untuk bergantung
hanya kepada-Mu. Aku pernah membaca sebuah hadis Nabi yang maknanya
bahwa tiadalah seseorang menderita suatu musibah—termasuk di dalamnya rasa
sakit—yang ia jalani dengan sabar, kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya
seperti gugurnya dedaunan. Aku yakin, Allahlah yang menciptakan penyakit, Dia
pulalah yang menyembuhkannya. Aku telah berkeliling mencari sebab bagi
kesembuhanku dan telah kudapatkan, meski belum maksimal. Mungkin Allah
"merindukan" rintihan pengaduanku kepada-Nya semata sehingga sebagian
dari kesembuhan masih tertangguhkan untukku.
Kedua, pemantapan jiwa untuk menghadapi kematian.
Mungkin saja aku termasuk di antara orang-orang yang berlalai-lalai dari
mempersiapkan diri untuk menyongsong kematian. Lalu, Allah memberikan
kasih-sayang-Nya kepadaku dengan perantaraan penyakit untuk mencerdaskan diri
dengan senantiasa mengingat kematian itu. Sungguh, ketika badan ini terkulai
dan susah digerakkan, disertai dengan napas yang susah diatur, pada kegelapan
malam dengan udara dingin yang mencucuk tulang dan persendian, aku merasakan kematian begitu dekat kepadaku.
Aku sering membayangkan, bagaimana ketika nanti ruh ini dicabut, dengan cara
keraskah ataukah dengan cara lembut Malaikat 'Izrail melakukannya. Setelah
dikuburkan, seorang diri jiwa dan raga ini menghadapi pertanyaan Munkar dan
Nakir. Apakah aku dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan tepat,
ataukah tidak?

Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!