“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah,
lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri.
Mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(Q.S. al-Hasyr:19).
Pada pagi ini—seiring dengan rekahan fajar—umat Islam
sedunia dengan suka-cita yang berbalut ke-khusyu’-an, keluar dari
rumah-rumah mereka, bergerak menuju ke masjid-masjid atau tanah lapang,
menyambut seruan Ilahi... melaksanakan salat Idul Adha sebagai bentuk
pengagungan kepada Allah, Rabbul ‘Âlamîn.
Nun, jauh di sana, di negeri yang selalu diberkahi—Makkah
al-Mukarramah—ribuan, bahkan jutaan, jamaah haji pun bergerak memenuhi lembah wahyu yang suci itu dalam
prosesi ibadah haji yang mereka lakukan, mengungkapkan sikap pengagungan yang
sama kepada Allah, Zat Pencipta, Pengatur, dan Pemelihara jagad raya ini.
Kaum Muslimin/Muslimat...,
Itulah sebabnya bagi hari yang agung ini, dikenal
beberapa nama. Hari yang mulia ini disebut Hari Raya Haji. Ia dinamai pula Hari
Raya Penyembelihan (‘Îdul Adhâ) atau Hari Raya Kurban (‘Îdul Qurbân).
Penamaan-penamaan itu tidaklah berdiri sendiri, tetapi memiliki kaitan yang
erat satu sama lain dalam rajutan benang emas sejarah yang—sesungguhnya—keseluruhannya
merupakan rekonstruksi perjalanan ruhani Nabi Ibrahim a.s.
Nabi Ibrahim a.s. adalah model seorang manusia yang
memilih untuk berangkat menuju Allah. Firman Allah mengabadikan perkataan Bapak
Para Nabi itu dalam Q.S. ash-Shâffât, ayat 99:
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ (٩٩)
“Dan Ibrahim berkata: ’Sesungguhnya aku pergi menghadap
kepada Tuhanku, dan Dia akan memberikan petunjuk kepadaku’”.
Seperti halnya Ibrahim a.s., saudara-saudara kita—jamaah haji—tanpa
mempedulikan usia dan kesehatan; tanpa menghiraukan keluarga dan kawan-kawan,
meninggalkan tanah air mereka, berangkat menuju Rumah Tuhan, Baitullâh. Hasrat
kerinduan mereka itu terlukis dalam untaian talbiyah yang mereka
gemakan:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ
شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ
شَرِيْكَ لَكَ....
“Aku
datang memenuhi panggilan-Mu. Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada
sekutu bagi-Mu. Segala puja dan anugerah, kepunyaan-Mu, begitu pula semua
kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Talbiyah itu keluar dari jutaan mulut. Bergema di bukit-bukit yang
tandus. Bergaung dalam kegersangan padang pasir, dan selanjutnya naik ke
langit, bergabung dengan tasbih para malaikat pemikul Arasy.
الله أكبر الله
أكبر الله أكبر ولله الحمد
Panggilan untuk kembali kepada Allah
bukan hanya ditujukan kepada para jamaah
haji. Panggilan itu juga ditujukan Allah
kepada kita semua. Dia memanggil kita sejak dahulu hingga kini untuk kembali
kepada-Nya. Dengarkanlah pertanyaan
Allah kepada kita, seperti yang terekam dalam Q.S. at-Takwîr,
ayat 81:
فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ (٢٦)
“Maka ke manakah kamu akan pergi?”
Di dalam menyahuti pertanyaan Allah itu,
betapa kita telah menjawabnya dengan jawaban yang tidak jelas. Tidak tahu, ke
mana kita sedang pergi. Apa tujuan kita dalam hidup ini: mengejar karier,
kekayaan, kedudukan, kemasyhuran, atau hanya sekadar meng-habiskan usia;
atau—mungkin—secara buta, hanya mengikuti arus zaman dan keadaan.
Marilah kita menyimak kembali seruan
Allah:
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (١٥)
“...dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. Luqmân:15).
Maka,
sesuai dengan penamaan bagi ibadah yang disyariatkan kepada kita—atau yang
sedang kita laksanakan—ini, yakni ibadah
qurbân, mari kita mendekat kepada Allah. Arahkanlah perahu kehidupan kita
menuju kepada-Nya. Persis seperti jamaah haji, kita harus memilih untuk kembali
kepada Allah secara sukarela, sebelum kita kembali kepada-Nya secara terpaksa.
Seperti halnya jamaah haji yang
wukuf di ‘Arafah, kita harus berhenti (wukuf) lebih dahulu di hadapan Allah.
Kita harus memulai perjalanan kembali kepada-Nya dari ’Arafah diri kita. “’Arafah”
artinya pengenalan. “’Arafah” maknanya
pengakuan. Pada saat ini, mari kita mengakui segala dosa yang kita lakukan.
Merintihlah di hadapan Allah, Saudaraku. Akuilah bahwa selama ini kita telah
melupakan Tuhan sehingga kita pun lupa kepada diri kita sendiri, padahal Dia
telah memperingatkan kita:
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ
أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (١٩)
“Dan janganlah kamu
seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa
kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. al-Hasyr:19).
Mari
kita katakan secara terus terang di hadapan keagungan-Nya bahwa sudah lama hidup
kita arahkan bukan kepada Allah. Kita sudah cukup diombang-ambingkan oleh badai
kehidupan yang membuat kita berlayar tanpa tujuan.
Di hadapan kemahabesaran Allah, pada
hari ini, mari kita mengakui bahwa selama ini kita menjadi pengembara yang
tersesat di gurun sahara “dunia” yang fana. Berulang kali kita mengejar apa
yang kita sangka sebagai tujuan hidup kita, tetapi ternyata ia hanya suatu
pemandangan (fatamorgana) yang menipu kita. Marilah kita berhenti sejenak; kita
wukuf di hadapan Allah....
“Tuhan, betapa aku sudah jauh
meninggalkan-Mu hanya untuk menumpuk kegagalan. Bimbinglah aku untuk berangkat
menuju kepada keridaan-Mu. Bantulah aku untuk menundukkan kehendakku pada
kehendak-Mu. Kuatkan anggota badanku. Segarkan jiwaku dengan siraman
cinta-Mu....”
جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ
اْلفَائِزِيْنَ ْالآمِنِيْنَ اْلغَانِمِيْنَ اْلمَقْبُوْلِيْنَ، وَأَدْخَلنَاَ
وَإِيَّاُكمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِهِ الصَّالِحِِِيْنَ، وَقُلْ رَبِ اْغفِرْ
وَاْرحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحمِيِْنَ.
(Agustan Ahmad Danie)
Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!