Penaklukan Mekah (Fatḥ
Makkah) merupakan salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam. Bahkan
Debby M. Nasution mencatatnya sebagai klimaks dari kemenangan militer dan
dakwah Islam.[1]
Dalam momen mahapenting
ini, terlihat jelas ketulusan Nabi SAW dan para sahabat beliau menyangkut semua
ketentuan Perjanjian Hudaibiyah. Sebaliknya, pengkhianatan dan pelanggaran kaum
Quraisy terhadap ketentuan pakta perdamaian tersebut juga terlihat jelas.
Kajian terhadap peristiwa tersebut
membuktikan kecakapan dan kemahiran Nabi SAW serta kebijakan arif yang
ditempuhnya untuk menaklukkan kubu musuh. Seakan-akan beliau lulusan suatu
akademi militer yang brilian. Beliau merencanakan kemenangan seperti komandan
yang berpengalaman, sehingga kaum Muslim meraih sukses terbesar, tanpa
kesukaran dan kerugian.
Latar Belakang Sejarah
Pada 6 Hijriyah, perjanjian antara pemimpin Quraisy, Suhail bin Amr,[2]
dan Nabi SAW di Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan oleh kedua pihak. Di
antara poin penting isi perjanjian itu, kaum Quraisy dan kaum Muslim bebas
mengadakan aliansi dengan suku lain sesuka hati.[3]
Berdasarkan isi pakta tersebut, suku Banî Khuzâ’ah membuat perjanjian dengan
kaum Muslim untuk saling melindungi. Sementara itu, suku Banî Bakr bin ‘Abdul
Manât
bin Kinânah
—musuh lama Banî Khuzâ’ah—beraliansi dengan
Quraisy.
Selama
hampir dua tahun Pakta Hudaibiyah, dakwah Islam sudah menjangkau seluruh
Semenanjung Arab dan memperoleh tanggapan yang positif. Hampir seluruh Semenanjung
Arab, termasuk suku-suku paling Selatan, telah memeluk Islam. Fenomena perkembangan
Islam yang demikian pesat itu membuat orang-orang Quraisy Mekah merasa
terpojok. Dalam asumsi mereka, ternyata Pakta Hudaibiyah telah menjadi senjata
bagi kaum Muslim untuk memperkuat diri.
Oleh
karena itu, secara sepihak, orang-orang Quraisy membatalkan perjanjian
tersebut. Mereka menyerang Banî Khuzâ’ah—sekutu kaum Muslim—hanya karena suku
itu berselisih dengan Banî Bakr yang menjadi sekutu Quraisy. Sejumlah orang Khuzâ’ah
mereka bunuh dan yang lainnya dicerai-beraikan. Banî Khuzâ’ah segera mengadu
kepada Nabi SAW dan meminta keadilan.[4]
Tokoh-tokoh
Quraisy sangat menyadari besarnya risiko yang akan mereka tanggung sebagai
akibat dari pelanggaran yang mereka lakukan terhadap perjanjian damai yang baru
berlangsung selama kurang-lebih satu setengah tahun itu. Mereka pun sepakat
untuk mengutus Abû Sufyân bin Harb ke
Madinah, melobi Rasulullah untuk memperbaiki memperpanjang masa berlaku pakta tersebut. Quraisy
benar-benar berharap dapat membujuk Rasulullah SAW ke meja perundingan dan
memaafkan pengkhianatan yang memalukan tersebut. Namun, upaya Quraisy Mekah
tersebut ternyata gagal total sehingga menimbulkan kekecewaan dan kepanikan di
pihak mereka.[5]
Persiapan Rasulullah Menaklukkan Musuh
Seluruh
rangkaian kehidupan Nabi SAW memperlihatkan bahwa beliau selalu berusaha agar
musuh menyerah di hadapan kebenaran. Beliau tidak pernah berpikir untuk
membalas dendam atau memusnahkan musuhnya. Di banyak pertempuran, tujuan beliau
adalah menggagalkan rencana musuh dan membubarkan persekongkolan. Beliau yakin
betul, jika orang-orang yang berkumpul dan bersekongkol untuk menghalangi
dakwah Islam, meletakkan senjata, pastilah kelak mereka akan tertarik pada
Islam dan menjadi pendukungnya.
Pada
waktu penaklukan Mekah, fenomena ini muncul dalam bentuknya yang sempurna. Nabi
SAW tahu, apabila beliau menaklukkan Mekah, melucuti musuh, dan menenteramkan
lingkungannya, para musuh bebuyutan itu akan segera menjadi pengikut setia
Islam. Oleh karena itu, beliau memandang perlu untuk menaklukkan musuh, tetapi
tidak untuk menghancurkannya, dan sedapat mungkin menghindari pertumpahan darah.
Untuk
mencapai sasaran suci ini, dibutuhkan strategi menyergap musuh secara mendadak.
Musuh harus diserang dan dilucuti sebelum sempat berpikir untuk mengumpulkan
kekuatan dan mempertahankan diri. Akan tetapi, strategi itu hanya dapat
terlaksana apabila seluruh rahasia militer kaum Muslim terjaga dengan aman,
sehingga musuh tidak tahu apakah Nabi sudah memutuskan untuk menyerang ataukah
baru memikirkannya.
Tentara Islam belum bergerak ketika
Malaikat Jibril memberitahu Rasulullah SAW bahwa seorang yang berpikiran sempit
dalam jajaran kaum Muslim telah menulis surat kepada Quraisy Mekah dan
menitipkannya kepada seorang wanita bernama Sârah, budak Banî
‘Abd al-Muththalib. Para sejarawan mencatat bahwa surat itu dikirimkan oleh
seorang sahabat pahlawan Perang Badr, Hâthîb bin Abî Balta’ah. Ketika diinterogasi oleh Rasulullah SAW, Hâthîb—dengan
suara memelas—menjawab, “Ya RasulAllâh, aku bersumpah demi Allâh, aku akan
tetap beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya. Tidak sedikit pun perubahan dalam
hatiku. Aku ini seorang muhajir yang tidak punya sanak-saudara di kalangan kaum
musyrik Quraisy, padahal aku meninggalkan seorang isteri dan seorang anak di
tengah-tengah mereka. Dengan surat itu, aku bermaksud meminta perlindungan
mereka bagi anak dan istriku dan mengakhiri penyiksaan terhadap keduanya”.[6]
Meskipun sangat terganggu dengan perbuatan Hâthîb, Rasulullah SAW, dengan
berbagai pertimbangan kemudian membebaskannya. Untuk menjamin agar peristiwa
itu tidak terulang, turunlah sembilan ayat pertama dari Sûrah al-Mumtahanah.[7]
Berdasarkan prinsip serangan
mendadak, maka waktu berangkat, jadwal perjalanan, dan tujuan perjalanan, tidak
diungkapkan kepada siapa pun sampai perintah bertolak diumumkan Nabi SAW pada
10 Ramadan 8 H, meskipun instruksi untuk bersiap-siap sudah diberikan
sebelumnya kepada kaum Muslim Madinah dan sekitarnya. Pada hari keberangkatan
itu, beliau mengangkat Abû Ruhm al-Ghifârî sebagai wakilnya di Madinah, dan
memeriksa tentaranya di pinggiran Madinah.
Berangkat Menuju Mekah dan Beberapa Catatan Penting
Pada
hari itu, Rasulullah SAW berangkat menuju Mekah dengan membawa 10.000
tentara. Para sahabat dari kalangan Muhâjirîn
dan Anshâr
tidak seorang pun tertinggal. Dalam
perjalanannya, Rasulullah SAW dan seluruh pasukan tetap melaksanakan shaum.
Namun, ketika mencapai suatu daerah yang bernama Kadîd, beliau dan pasukannya pun
berbuka.[8]
Sebelum
memasuki Makkah, terdapat beberapa kejadian penting yang penulis rangkum
sebagai berikut:
·
Ketika mencapai Juhfah,
beliau berjumpa dengan ‘Abbâs bin Abd al-Muththalib r.a.—paman
beliau—bersama dengan keluarga yang keluar meninggalkan Mekah untuk berhijrah
ke Madinah. ‘Abbâs pun bergabung bersama
beliau;
·
Pada waktu Isya, pasukan
kaum Muslim mencapai Marru Zhahrân dan beristirahat di sana. Rasulullâh
SAW menginstruksikan kepada setiap anggota pasukan agar menyalakan obor sebagai
bentuk perang urat syaraf terhadap musuh. Beliau mengangkat ‘Umar bin Khaththab
r.a. sebagai komandan pasukan jaga. Sementara itu, ‘Abbâs r.a. melakukan patroli serta
mencari seseorang yang sekiranya dapat disuruh untuk menjumpai kaum Quraisy di
Mekah agar mereka menyerah tanpa syarat sebelum pasukan Muslim menggempur
mereka;
·
Di dalam patroli yang dilakukannya, ‘Abbâs r.a. bertemu dengan Abû Sufyân bin Harb dan Budhâil
bin Waraqâ`
yang sedang mendiskusikan nyala obor pasukan Muslim. Pertemuan ini akhirnya
mengantarkan Abû Sufyân menemui
Rasulullah dan memeluk Islam;[9]
·
Rasulullah SAW menyetujui saran ‘Abbâs r.a. untuk memberikan sedikit “kebanggaan”
kepada Abû
Sufyân,
maka beliau pun bersabda, “Baiklah, (Abû Sufyân diberi wewenang untuk meyakinkan orang bahwa) siapa
saja yang masuk ke rumah Abû Sufyân , akan selamat. Siapa saja yang mengunci
pintu rumahnya, akan selamat. Dan, siapa saja yang masuk ke Masjid al-Harâm,
akan selamat”.[10]
Mekah Menyerah, Mekah Futûh
Ketika Abû Sufyân menyerah pada kehebatan Nabi SAW dan menyatakan
keimanannya, Rasulullah SAW memutuskan untuk memanfaatkan kehadiran “mantan”
musuh beliau ini untuk menggetarkan kaum musyrik. Oleh karena itu, beliau
meminta ‘Abbâs r.a. menahannya di lembah
sempit sehingga unit demi unit dari parade militer tentara Islam dapat
melewatinya dengan seluruh perlengkapan perang. Ia perlu menyaksikan kekuatan
militer Islam agar, sekembalinya ke
Mekah, ia dapat mengabarkannya kepada Quraisy.[11]
Abû Sufyân menyaksikan keberangkatan pasukan besar itu,
divisi demi divisi secara teratur. Dan terakhir, adalah pasukan Rasulullah SAW
yang terdiri atas kalangan Muhajirin dan Anshar lengkap dengan persenjataan
mereka. ‘Abbâs r.a. pun mengingatkan agar Abû Sufyân segera berangkat ke Mekah untuk memberi tahu
masyarakat.
Betapa terkejut dan paniknya Quraisy mendengar berita yang
tidak mereka duga sama sekali. Mereka seolah-olah tidak percaya.
Ketika pasukan besar itu sampai di Dzî Thuwâ dan segera memasuki Mekah,
Rasulullah SAW kembali membagi atau memecah pasukannya. Pasukan khusus di bawah
komando Zubair bin ‘Awwâm beliau instruksikan masuk melalui Kudân, arah sebelah kiri Mekah. Satu
pasukan khusus lagi, pimpinan Sa’ad bin ‘Ubâdah (namun karena suatu alasan
khusus, beliau ganti dengan ‘Alî bin Abî Thalâb krw.), beliau
instruksikan masuk dari Kadâ’. Kemudian beliau instruksikan kepada
pasukan Abû Ubaidah bin Jarrâh untuk berjalan di depan pasukan beliau
yang datang dari bagian atas Mekah, Adzâkhir. Di tempat itu, kemah beliau dirikan.[12]
Rasulullah SAW dan pasukan Muslim memasuki Mekah tanpa
mengalami kesukaran, kecuali perlawanan kecil dari pasukan ‘Ikrimah bin Abî
Jahl, Shafwân bin Umayyah, dan Suhail bin Amr. Ketika pasukan Islam
pimpinan Khâlid bin Walîd tiba di Khandamah, pertempuran kecil
terjadi yang dengan mudah dimenangi oleh pasukan Muslim.
Dua belas orang dari pasukan Quraisy terbunuh dan sisanya
melarikan diri, termasuk ‘Ikrimah, Shafwân, Suhail, dan Himas bin Qais.
Sementara itu, dua orang dari pasukan Muslim yang meninggal sebagai syahid. Kedua
orang itu adalah Kurz bin Jâbir al-Fihrî dan Khunais bin Khâlid bin Rabî’ah.[13]
Demikianlah, pasukan Muslim menaklukkan Mekah tanpa
kekerasan. Rasulullah SAW dan pasukan Muslim memasukinya dengan tawadu. Ketika
menyaksikan kemuliaan yang dianugerahkan Allâh kepadanya dengan “futûh”nya
Mekah, beliau merendahkan dirinya di hadapan Allâh ‘Azza wa Jalla dengan
menundukkan kepada seraya membaca Surah al-Fath. Begitu khusyuknya, dagu
beliau hampir-hampir menyentu punggung onta yang beliau kendarai.
Berikut ini adalah di antara aktivitas penting yang beliau
lakukan pascakemenangan besar itu:[14]
1. Menghancurkan seluruh
berhala di Ka’bah dan sekitarnya. Pada saat itu, terdapat 360 berhala. Beliau memulai
menyodoknya sambil berucap, “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah
hancur. Sesungguhnya kebatilan itu pasti hancur!” (Q.S. al-Isrâ`
[17]: 81).
2. Memberikan pengampunan (amnesti) massal;[15]
3. Mengembalikan kehormatan Mekah melalui khutbah yang beliau
ucapkan sehari setelah Fath Makkah;
4. Mengutus Khâlid bin Walîd
kepada Banî Jazûmah untuk menyeru mereka masuk Islam.
Khâtimah
Dalam peristiwa Fath Makkah, Rasulûllâh SAW—sekali
lagi—menunjukkan kepiawaiannya sebagai ahli strategi perang yang andal, panglima
gagah-berani yang bijaksana, tetapi tidak “haus darah”. Kecintaan beliau kepada
kemanusiaan serta kepeduliannya kepada keselamatan jiwa dan harta musuhnya juga
terbukti pada peristiwa ini. Di dalam petikan uraian sejarah yang penulis
paparkan di atas, tampak dengan jelas betapa manusia agung ini, dengan
visi yang sangat cerdas, mengabaikan kejahatan Quraisy dan mempermaklumkan
amnesti massal. Sesungguhnya, dari sinilah kemenangan sejati itu bermula.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemenangan yang agung dalam Fath
Makkah memberikan efek yang sangat dahsyat bagi perkembangan Islam
selanjutnya. Masuknya masyarakat Mekah ke dalam Islam ternyata berpengaruh
besar terhadap penduduk Arab pada umumnya.
Sejarah kemudian mencatat, pada tahun 9 dan 10 H, berbagai
suku dari pelosok Arab mengutus delegasinya kepada Nabi Muhammad SAW untuk
menyatakan ketundukan. Mereka datang ke Madinah rombongan demi rombongan untuk
memelajari Islam, dan setelah itu mereka kembali ke negeri masing-masing untuk
mengajarkannya kepada kaumnya. Peperangan antarsuku yang telah berlangsung
dalam hitungan abad pun berubah menjadi persaudaraan dalam agama. Allâh
Akbar wa li Allâh al-Ḥamd! (Agustan Ahmad Danie)
[1]Debby M. Nasution, Kedudukan Militer
dalam Islam dan Peranannya pada Masa Rasulullah SAW (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, cet. II, 2003), h. 301.
[2]
Ibnu Hisyâm,
Sîrah Ibn Hisyâm (t.t.: Maktabah Syâmilah, t.th.),
h. 307.
[3]Pakta
itu, secara garis besar, memuat lima poin. Pertama, kaum Muslim belum
boleh mengunjungi Ka’bah pada tahun tersebut, tetapi ditangguhkan hingga tahun
berikutnya; kedua, lama kunjungan hanya tiga hari dan orang-orang
Quraisy akan mengosongkan kota; ketiga, kaum Muslim wajib mengembalikan
orang-orang Mekah yang melarikan diri ke Madinah, tetapi kaum Quraisy tidak
harus menolak orang-orang Madinah yang kembali ke Mekah; keempat, selama
sepuluh tahun diberlakukan gencatan senjata antara masyarakat Madinah dan
masyarakat Mekah; dan kelima, kaum Quraisy dan kaum Muslim bebas
mengadakan persekutuan dengan suku lain sesuka hati.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve, Jilid III, Cet. III, 1994),
h. 271. Lihat juga, Ibn Hisyam, op.cit., h. 317.
[4]Banî
Bakr—di bawah pimpinan Nawfal bin Mu’âwiyah ad-Daylî—sebagai sekutu Quraisy melakukan
penyerangan terhadap Banî Khuzâ’ah pada suatu malam di mataair mereka yang bernama al-Watîr.
Mereka berhasil membunuh 20 orang suku Khuzâ’ah dan menggiring yang lainnya
ke Mekah. Mushthafa as-Sibâ’î, Sirah Nabi Muhammad SAW:
Pengajaran dan Pedoman, www.dakwah.info,
h, 62.
[5]Ketakutan
Quraisy bisa dipahami karena mereka mengetahui betul bagaimana hebatnya
kekuatan militer Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Dan mereka pun
menyadari bahwasanya mereka tidak mungkin mampu menghadapi kekuatan kuam
Muslim. Apa lagi berita perang Mut’ah yang dimenangi oleh kaum Muslim dengan
kekuatan 3.000 tentara menghadapi kekuatan tentara imperium Romawi Timur
(Byzantuim) masih hangat dalam ingatan mereka. Lihat, Debby M. Nasution, op.cit., h. 308—315.
[6]HMH
Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW (Jakarta:
Pustaka Hidayah, Cet. V, 1995), h. 725. Lihat juga, Ja’far Subhâni, The
Message, terj. Muhammad Hasyim dan Meth Kieraha dengan judul “Ar-Risalah:
Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW” (Jakarta: Lentera, Cet. II, 1996), h.
563.
[7]Ibid.,
h. 564. Lihat juga, Abû al-Fidâ` Ismâ’îl bin Katsîr (Ibn Katsîr), Tafsir
al-Qur`an al-‘Azhim (t.t.: Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, Jilid 8,
Cet. II, 1999), h.82.
[8]‘Alî
bin Ahmad bin Sa’îd bin Hazm al-Andalûsî, Jawâmi’
al-Sîrah (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, Cet. I, 1900), h. 226.
[9] Kepada mereka berdua, Abbas berkata, هذا رسول الله (ص) في الناس وأصباح قريش والله (Itu adalah Rasulullah dan pasukannya, demi Allah,
besok akan menyerbu Quraisy).
Mendengar penjelasan ‘Abbâs,
Abû Sufyân sangat terkejut dan berkata, فما الحيلة فداك أبي وأمي (Wahai
yang sangat kuhormati, apa yang harus dilakukan?). ‘Abbas pun kemudian berkata, “Demi Allah,
seandainya sekarang engkau tertangkap, pastolah lehermu akan dipenggal. Naiklah
di belakangku untuk aku bawa menghadap Rasulullah SAW dan aku mintakan jaminan
keselamatan Dâri beliau untukmu”. Ibid., h. 228.
[10]
Ibid, h. 229 dan Al-Husaini, op.cit., h. 571.
[11]Beberapa
unit tentara Islam adalah sebagai berikut: (1) Resimen kuat sejumlah 1000
tentara Dâri suku Bani Salim komando Khalid bin Walid yang membawa dua panji.
Satu dibawa oleh ‘Abbas bin Mirdas dan satu lagi oleh Miqdad, (2) Dua batalion
sebanyak 500 prajurit (mayoritas Muhajirin)pimpinan Zubair bin ‘Awwam dengan
panji hitam, (3) Sebuah batalion pembawa panji dengan 3000 laskar Dâri Bani
Ghifar pimpinan Abu Dzarr al-Ghifari, (4) Sebuah batalion pembawa panji dengan
400 prajurit Dâri Bani Salim di bawah komando Yazid bin Khusaib, (5) Dua
batalion pembawa panji dengan 500 prajurit Dâri Bani Ka’ab pimpinan Busr bin
Sufyan, (6) Resimen pembawa tiga panji beranggotakan 1000 tentara Dâri Bani
Muzainah, (7) Resimen pembawa empat panji beranggotakan 800 tentara Dâri Bani
Juhainah, (8) Dua kelompok pembawa panji terdiri atas 200 orang Dâri bani
Kinanah, Bani Laits, dan Bani Hamzah pimpinan Abu Waqid al-Laitsi, dan (9) Satu
batalion yang membawa 2 panji dengan 300 mujahid Dâri Bani Asyja’, satu
dipegang Ma’qal bin Sanan dan satu lagi oleh Na’im bin Mas’ud. Lihat, Subhâni, op.cit.,
h. 571.
[12]Nasution,
op.cit., h. 329.
[13]Ibn
Hazm al-Andalûsî, op.cit., h. 231.
[14]
Diringkas dari ibid., h. 234—235.
[15]Rasulullah
SAW memberi amnesti massal kecuali kepada 9 orang. Mereka adalah (1) ‘Abdullah
bin Sa’ad bin Abi Sharh, (2) ‘Ikrimah bin Abî Jahl, (3) ‘Abdul ‘Uzzâ
bin Khaththâl,(4) Harits bin Nufail bin Wahb, (5) Mâqis bin Shabâhah,
(6) Hubar bin Aswad, (7) dan (8) dua orang budak wanita ‘Abdul ‘Uzza bin Khaththâl,
dan (9) Sârah,
maulâ perempuan dari sebagian Banî ‘Abd al-Muththalib. Namun, di
antara ke sembilan orang itu, atas permohonan beberapa sahabat, hanya empat darii
mereka yang tetap dieksekusi, yaitu (1) ‘Abdul ‘Uzza, (2) Hârits,
(3) Mâqis,
dan (4) salah satu budak wanita ‘Abdul ‘Uzza.
Ibn
Hazm al-Andalûsî, op. cit., h. 233.
BAHAN BACAAN
al-Andalûsî, Ibn Hazm, ‘Alî bin Ahmad bin Sa’îd. 1900. Jawâmi’ al-Sîrah. Mesir: Dâr al-Ma’ârif, Cet. I.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jilid III, Cet. III.
al-Husaini, Al-Hamid, HMH. 1995. Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW. Jakarta: Pustaka Hidayah, Cet. V.
Ibnu Hisyâm. Sîrah Ibn Hisyâm. t.t.: Maktabah Syâmilah.
Ibn Katsîr, Abû al-Fidâ` Ismâ’îl. 1999. Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm. t.t.: Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tawzî’, Jilid 8, Cet. II.
Nasution, Debby M. 2003. Kedudukan Militer dalam Islam dan Peranannya pada Masa Rasulullah SAW. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, cet. II.
as-Sibâ’î, Mushthafâ, DR. Sirah Nabi Muhammad SAW: Pengajaran dan Pedoman. www.dakwah.info
Subhâni,Ja’far. 1996. The Message. Terj. Muhammad Hasyim dan Meth Kieraha dengan judul “Ar-Risâlah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW”. Jakarta: Lentera, Cet. II.
Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!