Home » » Berlarilah Menuju Allah (Refleksi atas Hakikat Hijrah Spiritual)

Berlarilah Menuju Allah (Refleksi atas Hakikat Hijrah Spiritual)

Oleh: A.A. Danie | 15 Nov 2012 | 07.57



Di antara hikmah Allah mengantarkan kita pada pergantian tahun adalah agar hati serta pikiran kita terbuka, agar kesadaran jiwa kita tersentak, bahwa ada batas waktu pendek yang tersedia di hadapan kita. Sangat boleh jadi kita tidak sempat mencapai tujuan hidup seperti yang kita inginkan, karena waktu pendek itu tidak kita gunakan dengan baik untuk berlari menuju Allah, padahal Allah swt. telah menyeru kita dengan fiman-Nya melalui lisan Rasul-Nya, Muhammad saw.:
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ مُّبِينٌ ﴿٥٠﴾
“Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. adz-Dzariyat: 50).

Perjalanan menuju Allah adalah sebuah aktivitas peralihan atau perpindahan yang terus-menerus. Syaikh Ibnu 'Atha`illah rahimahullah menyebutnya dengan kata "hijrah", yang artinya "perpindahan dari apa pun selain Allah, menuju kepada Allah swt.; peralihan dari apa saja yang tidak diridai Allah kepada yang diridai-Nya; perubahan dari segala yang mengundang murka Allah kepada yang dicintai-Nya".

Di dalam kitab Al-Hikam, beliau mengutip perkataan seorang salih bernama Ibnu 'Ibad. Ibnu 'Ibad berkata, "Seorang hamba yang lari dari Allah menuju syahwatnya dan menuruti hawa nafsunya disebabkan oleh kebutaan hatinya dan kebodohannya terhadap Rabb-nya, (pada hakikatnya) telah mengganti sesuatu yang baik dengan yang buruk. Ia telah menukar yang abadi dengan yang fana. Padahal, dirinya tidak mungkin lepas darinya." Ibnu 'Atha'illah lantas mengatakan, "Sungguh mengherankan orang yang lari dari Zat yang ia tidak dapat berpisah dengan-Nya, lantas mencari sesuatu yang ia tidak menjadi kekal bersamanya, karena sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada."

Di dalam kitab Zad al-Muhajir ila Rabbih, Ibnu Qayyim al- Jawziyyah mengatakan, "Jika ada seorang hamba yang lari kepada Allah, pada hakikatnya dia telah lari dari sesuatu menuju kepada sesuatu yang keberadaannya atas kehendak dan takdir Allah Ta'ala. Jadi, sebenarnya sama saja, ia lari dari Allah menuju kepada Allah (firar min Allah ila Allah). " Itulah makna sabda Rasulullah saw.:

          ... وَ أَ عُوْذُ بِكَ مِنْكَ (رواه مسلم و أبو داود والترمذى والنسآئى وبن ماجه).
            "... dan aku memohon perlindungan dengan-Mu dari-Mu."

Begitu pula sabda beliau yang lain:
          لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ. (رواه البخارى ومسلم و أبو داود والترمذى والنسآئى ).
"... Tidak ada tempat kembali dan tempat menyelamatkan diri dar-Mu kecuali kepada-Mu."

Apabila jiwa manusia dapat memahami makna hijrah spiritual ini, di dalam hatinya pun tidak ada ketergantungan lagi kepada selain Allah. Dia tidak akan pernah lagi merasa takut (khawf), berharap (raja`) maupun mencintai sesuatu (mahabbah) selain Allah. Hal itu berarti secara tidak langsung, ia telah mengesakan Allah dalam khawf, raja`, dan mahabbah-nya. Dari pancainderanya, akan memancar ihsan atau kebajikan. Tutur katanya baik, sehingga orang lain akan selamat dari umpatan, makian, serta fitnahnya yang menyakitkan hati. Pekerjaannya pun akan selalu bernilai ihsan (baik), dalam pengertian, tidak pernah merugikan siapa pun. Ia tidak akan melakukan tindakan manipulasi, korupsi, serta tindakan mark up, betapa pun ringan atau kecilnya, karena ia sangat yakin bahwa Allah selalu mengawasi dan "membersamai"-nya. Itulah buah dari proses hijrah yang terhunjam kuat di dalam jiwanya.

Proses hijrah kita—berlari dan berlomba menuju Allah—hendaknya sebagaimana sikap para tukang sihir Firaun, sesaat setelah mereka menyatakan beriman kepada Allah swt. Ketika itu, mereka tidak peduli dengan tawaran "kebaikan", negosiasi, posisi empuk, dan "kemuliaan" yang dijanjikan Firaun kepada mereka. Mereka juga tidak menghiraukan intimidasi, ancaman pembantaian dan pembunuhan, hingga penyaliban tubuh mereka yang disampaikan Firaun. Dengan tegas, mereka menyatakan, seperti yang diabadikan oleh al-Qur`an al- Karim
:

قَالُوا لَن نُّؤْثِرَكَ عَلَى مَا جَاءنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالَّذِي فَطَرَنَا فَاقْضِ مَا أَنتَ قَاضٍ إِنَّمَا تَقْضِي هَذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿٧٢﴾
“Mereka berkata, ‘Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja’.

Demikian kuat dan tangguhnya sikap orang-orang yang pernah menjadi tukang sihir Firaun itu. Kekufuran yang pernah menjadi bagian masa lalu mereka, ternyata tidak membuat mereka buta melihat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah swt. Kejahatan yang pernah meraka lakukan dahulu, ternyata tidak membutakan mata hati mereka dari sinar hidayah Allah. Mereka diancam, tetapi mereka tetap teguh memegang hidayah itu. Mereka dibunuh, bahkan disalib, tetapi mereka tidak pernah bergeming—apa lagi surut—dari proses hijrah yang mereka lakukan menuju Allah swt. Inilah yang dimaksud oleh perkataan Ibnu 'Atha`illah, "Jangan engkau berpindah dari satu alam ke alam lain, karena engkau (dengan demikian) akan mirip dengan keledai yang berputar di penggilingan. Ia berjalan, dan tempat yang ditujunya ternyata tempat ia berangkat (berjalan dari situ ke situ saja). Akan tetapi, beralihlah dari segenap alam kepada Pencipta Alam, Allah swt."




Yuk, Bagikan!

Posting Komentar

Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!

 
Copyright © 2014. Qalamedia Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger