“Sungguh, eksistensi suatu bangsa ada pada akhlak (karakter)-nya. Jika akhlak sudah hilang, hilang pulalah eksistensi bangsa tersebut.” (Syauqi Bey)
اللهُ أكْبَرْ (3×) اللهُ أكْبَرْ (3×) اللهُ أكبَرْ (3×) اللهُ أكْبَرْ كُلَّمَا هَلَّ هِلاَلٌ وَأبْدَرَ، اللهُ أكْبَرْ كُلَّماَ صَامَ صَائِمٌ وَأَفْطَرْ، اللهُ أكْبَرْ كُلَّماَ تَرَاكَمَ سَحَابٌ وَأمْطَر،ْ وَكُلَّماَ نَبَتَ نَبَاتٌ وَأزْهَرْ، وَكُلَّمَا أطْعَمَ قَانِعُ اْلمُعْتَرْ. اللهُ أكْبَرْ (3×) لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَاللهُ أكْبَرْ اللهُ أكْبَرْ وَ للهِ اْلحَمْدُ .اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِى جَعَلَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عِيْدَ اْلفِطْرِ بَعْدَ صِياَمِ رَمَضَانَ وَعْيدَ اْلاَضْحَى بَعْدَ يَوْمِ عَرَفَةَ. اللهُ أَكْبَرْ (3×) اَشْهَدُ أَنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ اْلمَلِكُ اْلعَظِيْمُ اْلأكْبَرْ، وَاَشْهَدٌ أَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ فِى اْلمَحْشَرْ، قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَأصْحَابِهِ الَّذِيْنَ اَذْهَبَ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرْ، اللهُ أكْبَرْ. أمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَاللهِ اِتَّقُوااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Pagi ini, kita telah mengawali keberadaan kita di tempat ini dengan takbir, tahmid, dan tasbih sebagai ungkapan pengagungan, penyucian, serta syukur kita kepada Rabb al-Jalīl, Allah Tabāraka wa Ta’ālā. Berulang-ulang kita melafalkan kalimat-kalimat suci itu. Takbir sebagai pengakuan atas kebesaran dan keagungan Allah swt.; tasbih untuk menjauhkan serta menyucikan Dia dari segala sifat kekurangan; dan tahmid sebagai ungkapan pepujian atas limpahan nikmat serta kebaikan-Nya untuk kita.
Hari ini, kita gembira bisa menyelesaikan rangkaian ibadah Ramadan karena kita mempunyai harapan besar untuk dapat kembali mengantar diri kita dalam kesucian jiwa serta kefitriannya dalam sepuhan takwa. Kita bersuka-cita karena hari ini kita akan memperoleh pengampunan dari-Nya.
إِذَا صَامُوْا شَهْرَ رَمَضَانَ وَخَرَجُوْا إِلىَ عِيْدِكُمْ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالىَ: يَا مَلاَئِكَتِى كُلُّ عَامِلٍ يَطْلُبُ اُجْرَهُ اَنِّى قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَيُنَادِى مُنَادٌ: يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ اِرْجِعُوْاإِلَى مَنَازِلِكُمْ قَدْ بَدَلْتُ سَيِّئَاتِكُمْ حَسَنَاتٍ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: يَا عِبَادِى صُمْتُمْ لِى وَأَفْطَرْتُمْ لِى فَقُوْمُوْا مَغْفُوْرًا لَكُمْ
“Apabila mereka berpuasa di bulan Ramadan kemudian keluar untuk merayakan hari raya kalian, Allah pun berfirman, 'Wahai malaikat-Ku, setiap orang yang mengerjakan amal kebajian dan meminta balasannya, sungguh Aku telah mengampuni mereka'. Seseorang kemudian berseru, 'Wahai umat Muhammad, pulanglah ke tempat tinggal kalian. Seluruh keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan'. Kemudian Allah pun berfirman, 'Wahai hamba-Ku, kalian telah berpuasa untuk-Ku dan berbuka untuk-Ku, maka bangunlah sebagai orang yang telah mendapatkan ampunan.”
Allāhu Akbar (3x) wa lillāhil-ḥamd,
Kaum Muslimin-Muslimat, atsābakumullāh,
Seribu empat ratus tiga puluh dua tahun yang lalu, Nabi saw. memimpin salat ‘Id yang pertama. Ia mengungkapkan rasa syukurnya karena Allah swt. telah menganugrahkan kemenangan kepada kaum mukmin dalam Perang Badar. Seribu enam ratus tiga puluh dua tahun setelah itu, bangsa Indonesia memperingati Idulfitri setelah melepaskan belenggu penjajahan dan menyatakan kemerdekaannya. Hari ini, kita melakukan salat Idulfitri dan satu pekan setelah hari ini, kita akan memperingati kemerdekaan Indonesia ke-68. Mari kita jadikan nilai-nilai Ramadan sebagai salah satu tonggak pembangunan karakter bangsa kita.
Dengan mencermati kemelut serta carut-marut politik yang menimpa bangsa kita, khususnya pada setengah dasawarsa terakhir, kita akan menyepakati satu kesimpulan bahwa bangsa besar ini sungguh membutuhkan pendidikan karakter yang kokoh untuk selamat dari keterpurukannya. Pujangga Islam Mesir, Syauqi Bey, bernah mengatakan:
Seribu empat ratus tiga puluh dua tahun yang lalu, Nabi saw. memimpin salat ‘Id yang pertama. Ia mengungkapkan rasa syukurnya karena Allah swt. telah menganugrahkan kemenangan kepada kaum mukmin dalam Perang Badar. Seribu enam ratus tiga puluh dua tahun setelah itu, bangsa Indonesia memperingati Idulfitri setelah melepaskan belenggu penjajahan dan menyatakan kemerdekaannya. Hari ini, kita melakukan salat Idulfitri dan satu pekan setelah hari ini, kita akan memperingati kemerdekaan Indonesia ke-68. Mari kita jadikan nilai-nilai Ramadan sebagai salah satu tonggak pembangunan karakter bangsa kita.
Dengan mencermati kemelut serta carut-marut politik yang menimpa bangsa kita, khususnya pada setengah dasawarsa terakhir, kita akan menyepakati satu kesimpulan bahwa bangsa besar ini sungguh membutuhkan pendidikan karakter yang kokoh untuk selamat dari keterpurukannya. Pujangga Islam Mesir, Syauqi Bey, bernah mengatakan:
إنما الأمم الأخلاق مابقيت فإن همو ذهبت أخلاقهم ذهبوا
“Sungguh, eksistensi suatu bangsa ada pada akhlak (karakter)-nya. Jika akhlak sudah hilang, hilang pulalah eksistensi bangsa tersebut.”
Sebagai wahana pendidikan karakter, Ramadan mengajari kita tentang input, proses, dan output (hasil) suatu pendidikan. Mari kita membicarakannya, secara singkat, satu persatu.
Pertama,input dalam pendidikan karakter pada madrasah Ramadan adalah iman. Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 183).
Ramadan telah membuktikan, betapa pun bulan suci itu menyediakan kemuliaan ibadah, tetapi hanya orang-orang yang mempunyai ‘energi’ iman yang mantap saja yang bisa menggunakan peluang untuk meraih kemuliaan tersebut. Bahkan, bertambahnya ketakwaan kita sangat ditentukan oleh kadar dan kualitas iman kita. Maaf, yang imannya pas-pasan—apa lagi yang tidak punya iman—memandang Ramadan yang mulia hanya sebagai rangkaian waktu yang menjengkelkan dan kontraproduktif bagi aktivitas-aktivitasnya. Kiranya, itulah rahasianya sabda Rasulullah saw.:
من صام رمضـان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبــه ومن قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبــه ›› رواه البخاري و مسلم
"Barangsiapa berpuasa serta mendirikan salat pada laylat al-qadr atas dasar iman dan harapan pahala dari Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka, yang harus kita pahami terlebih dahulu, usaha apa pun yang kita giatkan untuk membentuk karakter bangsa tanpa dilandasi dengan keimanan yang kokoh adalah kesia-siaan! Dari sudut pandang ini, semoga kita bisa memahami pentingnya keimanan sebagai pondasi pendidikan kita, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Allāhu Akbar (3x) wa lillāhil-ḥamd,
Kaum Muslimin-Muslimat, raḥimakumullāh,
Kedua, proses. Paling tidak, ada empat proses yang diajarkan oleh Ramadan untuk membentuk kita menjadi bangsa yang berkarakter.
Proses pertama adalah seluruh ibadah dalam Islam—tidak terkecuali ibadah puasa—apabila dikerjakan dengan baik dan benar, akan membentuk karakter positif bagi pelakunya. Sebaliknya, penunaian ibadah akan dipandang gagal jika tidak mendampakkan karakter yang baik bagi diri pelakunya. Rasulullah saw. bersabda:
رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع و العطش ›› رواه أحمد والحاكم و البيهقي
“Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak beroleh apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.” (HR. Ahmad, al-Hākim, dan al-Baihaqī).
Di sinilah pentingnya kita menggalakkan anak-anak kita—bahkan diri kita sendiri—untuk berkomitmen mengerjakan ibadah sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah atau di lingkungan kerja. Maka, sekali lagi, kita diberi pelajaran bahwa pendidikan karakter hanya akan menghabiskan dana—karena akan kehilangan arah—kalau tidak diberengi oleh semangat beribadah sebagai simbol ketunduk-pasrahan kepada Allah Rabb al-‘Ālamīn.
Proses kedua yang diajarkan Ramadan untuk membentuk karakter bangsa ini ialah “keakraban” dengan Alquran, yang tentu secara tidak kebetulan diturunkan Allah swt. pada bulan Ramadan. Alquran adalah sumber petunjuk untuk memperoleh kesuksesan dan keselamatan. Kita harus sadar bahwa kita membutuhkan kedua hal yang saya sebutkan terakhir: kesuksesan dan keselamatan. Kita tidak hanya harus sukses, tetapi juga harus selamat dari murka dan azab Allah swt. Bagaimana cara mencapai keduanya? Mari kita simak firman Allah Tabāraka wa Ta’ālā:
“Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. al-Isrā`: 9).
Menyiapkan diri dan generasi menjadi bangsa yang berkarakter adalah dengan menjalani proses menjadi pribadi dan masyarakat Qurani: membaca Alquran, memahaminya, menghapalkannya, dan mengamalkannya, seperti yang telah kita coba praktikkan selama sebulan dalam Ramadan.
Proses yang ketiga ialah menciptakan dan memilih lingkungan yang baik dan—sebaliknya—menjauhkan diri dari lingkungan yang buruk. Lingkungan yang baik akan memberi pengaruh yang besar terhadap pembentukan karakter yang baik. Begitu pula sebaliknya, lingkungan yang buruk juga akan berpengaruh terhadap karakter kita. Ramadan telah mengajarkan hal ini kepada kita bahwa ketika kita kompak untuk “membentuk” lingkungan yang menyibukkan diri dengan amal kebajikan dalam bulan agung itu, kita pun merasakan naiknya grafik karakter kebaikan dalam jiwa kita yang berpengaruh signifikan terhadap cara berpikir kita, cara berbicara kita, serta cara bertindak kita.
Rasulullah saw. bersabda,“Ketika datang Ramadan, terbukalah pintu-pintu surga, tertutuplah pintu-pintu neraka, dan terbelenggulah setan.” (HR. Muslim).
Proses keempat ialah melatih kepedulian sosial. Salah satu nilai yang sangat asasi dari pelajaran Ramadan adalah mengasah kecerdasan sosial. Puasa dan sedekah, infak, serta zakat diharapkan membentuk karakter sosial kita; melahirkan rasa tidak hanya sekadar peduli kepada orang lain, tetapi mengutamakan kepentingan saudara-saudara kita; mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara di atas kepentingan pribadi, keluarga, serta partai politik kita. Sesungguhnya, Ramadan mengajak dan mengajar kita untuk merasakan nikmatnya menjadi pribadi pemberi dan menyuruh kita meninggalkan karakter senang menerima, meminta, bahkan mengambil hak masyarakat untuk menjadi milik pribadi kita. Itulah sebabnya mengapa pada akhir kewajiban puasa Ramadan ada kewajiban membayar zakat fitrah yang tidak hanya dibebankan bagi yang kaya, tetapi juga bagi yang miskin selama mereka memiliki kelebihan dari bahan makanan pokok dan kebutuhan sehari-semalam pada malam 1 Syawal itu sampai dengan dilaksanakannya salat Idulfitri. Itu dimaksudkan agar mereka—orang-orang yang hakikatnya membutuhkan bantuan itu—juga merasakan nikmatnya memberi, minimal sekali dalam setahun.
Allāhu Akbar (3x) wa lillāhil-ḥamd,
Kaum Muslimin-Muslimat, atsābakumullāh,
Aspek terakhir dari pendidikan karakter ala Ramadan adalah output. Input dan proses yang benar akan menghasilkan output yang baik. Apabila input “iman” berbanding lurus dengan keempat proses yang disebutkan di atas, maka dapat dipastikan bahwa output yang dihasilkan dari pendidikan karakter ala Ramadan adalah terciptanya pribadi takwa dan masyarakat muttaqīn dengan lima ciri-khas, seperti yang disebutkan Imam Ali krw.: (1) الخوف من الجليل (takut akan kebesaran Allah), (2) والعمل باالتنزيل (mengamalkan Alquran), (3) والشكر على الجزيل (bersyukur), (4) والرضى بالقليل (merasa puas), dan (5) والإستعداد ليوم الرحيل (bersiap-diri menuju akhirat).
Allāhu Akbar (3x) wa lillāhil-ḥamd,
Sungguh sangat indah apabila nilai-nilai pendidikan karakter yang telah diajarkan oleh Ramadan dan telah kita capai darinya, terus kita tradisikan mulai hari ini.
Bertanyalah kepada diri kita masing-masing dan jawablah dengan komitmen yang mantap mulai hari ini:
- Apa yang menahan kaki kita untuk melangkah ke masjid, padahal kita telah mentradisikannya sepanjang Ramadan?
- Apa yang mengalangi diri kita untuk mengendalikan hawa-nafsu kita agar tidak memasukkan makan dan minuman haram ke dalam rongga perut kita; agar tidak mendekati perilaku maksiat kepada Allah swt., sementara kita mampu mngendalikannya selama Ramadan?
- Apa yang menyebakan kita begitu berat membaca dan menghayati Alquran, padahal kita bisa melakukan, membaca, dan menamatkannya di dalam Ramadan?
- Apa yang membebani kita sehingga begitu berat mengerjakan tahajud, witir, puasa sunah, serta amalan sunah lainnya, padahal kita berhasil menghidupkannya di dalam Ramadan?
Allāhu Akbar (3x) wa lillāhil-ḥamd,
Kaum Muslimin-Muslimat, raḥimakumullāh,
Segera setelah salat Idulfitri ini berakhir, mari kita berjanji kepada diri kita untuk memancang tonggak silaturahim dalam perjalanan hidup kita. Selama ini, kita telah menanam pohon penuh duri di tengah jalan raya kehidupan. Semua orang yang melewati, kita tusuk dengan duri-duri tajam kita, kita sakiti hati mereka. Kita cabik-cabik perasaan mereka dengan keangkuhan kita. Makin sering orang-orang itu hadir di depan kita, makin banyak luka-luka dalam jantungnya, makin banyak rintihan dan tangisannya.
Di antara mereka itu adalah orang tua kita. Temuilah mereka kalau mereka masih hidup. Kenanglah beban yang mereka tanggung untuk melahirkan kita dan membesarkan kita. Bersimpuhlah di hadapan mereka, bahagiakan mereka, sehingga kita melihat lagi di wajah-wajah mereka senyuman tulus yang menyejukkan hati. Mohonlah maaf kepada mereka karena selama ini ucapan dan perilaku kita telah melukai mereka.
Setelah itu, cobalah pusatkan perhatian kepada orang-orang di sekitar kita yang selama ini tersakiti karena ambisi kita, yang tercampakkan karena arogansi kita, yang tersia-siakan karena besarnya keserakahan kita, atau yang “sekadar” terabaikan karena kesibukan kita. Mereka itu pasangan hidup kita, anak-anak kita, tetangga kita, sahabat kita, bahkan seluruh kaum muslim, saudara kita. Sadarkan diri kita bahwa mereka dihadirkan Allah untuk kita cintai dengan sepenuh hati. Di antara mereka, yang secara khusus Allah swt titipkan kepada kita, ada orang-orang yang menderita, orang lemah, kaum fuqarā` dan masākīn.
Di antara mereka itu adalah orang tua kita. Temuilah mereka kalau mereka masih hidup. Kenanglah beban yang mereka tanggung untuk melahirkan kita dan membesarkan kita. Bersimpuhlah di hadapan mereka, bahagiakan mereka, sehingga kita melihat lagi di wajah-wajah mereka senyuman tulus yang menyejukkan hati. Mohonlah maaf kepada mereka karena selama ini ucapan dan perilaku kita telah melukai mereka.
Setelah itu, cobalah pusatkan perhatian kepada orang-orang di sekitar kita yang selama ini tersakiti karena ambisi kita, yang tercampakkan karena arogansi kita, yang tersia-siakan karena besarnya keserakahan kita, atau yang “sekadar” terabaikan karena kesibukan kita. Mereka itu pasangan hidup kita, anak-anak kita, tetangga kita, sahabat kita, bahkan seluruh kaum muslim, saudara kita. Sadarkan diri kita bahwa mereka dihadirkan Allah untuk kita cintai dengan sepenuh hati. Di antara mereka, yang secara khusus Allah swt titipkan kepada kita, ada orang-orang yang menderita, orang lemah, kaum fuqarā` dan masākīn.
Ya Allah,
Aku mohon ampun kepada-Mu
Di hadapanku ada orang yang dizalimi, aku tidak menolongnya
Kepadaku ada orang berbuat baik, aku tidak berterima kasih kepadanya
Orang bersalah meminta maaf kepadaku, aku tidak memaafkannya
Orang susah memohon bantuan kepadaku, aku tidak menghiraukannya
Ada hak orang mukmin dalam diriku, aku tidak memenuhinya
Tampak aib mukmin di depanku, aku tidak menyembunyikannya
Dihadapkan dosa kepadaku, aku tidak menghindarinya
Ilāhī,
Aku mohon ampun dari semua kejelekan itu dan yang sejenis dengannya
Aku sungguh menyesal
Biarlah itu menjadi peringatan agar aku tidak berbuat yang sama sesudahnya
Catatlah ini sebagai penyesalanku atas segala kemaksiatan
Sebagai tekadku untuk meninggalkan kedurhakaan
Jadikan itu semua, taubat yang menarik kecintaan-Mu
Wahai Zat yang mencintai orang-orang yang bertaubat.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. وأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ ربِّهِ ونَهَيَ النَّفْسَ عَنِ اْلَهوَى فَإنَّ الْجَنَّةَ هِيَ اْلمَأْوَى. مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ وَاْلمَقْبُوْلِيْنَ وَأدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ وَأَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاسْتَغْفِرُاللهَ اْلعَظِيْمَ لِى وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرْهُ اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
(Agustan Ahmad)
Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!