Home » , » Prototipe Masyarakat Modern Sasaran dan Output Dakwah

Prototipe Masyarakat Modern Sasaran dan Output Dakwah

Oleh: A.A. Danie | 22 Okt 2013 | 08.47




"Masyarakat rabbani yang melahirkan peradaban Islam yang universal, bukanlah suatu utopia, tetapi terukir dalam sejarah Islam sebagai suatu peninggalan yang amat berharga untuk memompa ghirah dan semangat para mujahid dakwah."


Muqaddimah

Yang dimaksud dengan masyarakat modern adalah struktur masyarakat yang dinamis dan  kreatif untuk melahirkan gagasan-gagasan demi kepentingan manusia dalam berbagai sektor kehidupan. Seperti diketahui, masyarakat manusia telah ditinjau dari sudut pandang berbeda oleh berbagai aliran pemikiran moral. Perbedaan itu muncul ketika titik berat perspektifnya  diletakkan pada aspek alami dan kegiatan masyarakat yang berbeda. Menurut Alquran, atribut inti dari masyarakat manusia adalah kepribadian yang mencakup kesadaran diri, pengarahan diri, kehendak, dan intelek kreatif. (A.M. Saefuddin, et.al.:  1991).

Dakwah merupakan jalan lempang kehidupan menuju Tuhan yang terbentang sejak manusia pertama menghuni bumi Allah ini. Di atas jalan ini, kafilah panjang itu akan terus bergerak menjadi agen pengubah ('anasihir at-taghyir) hingga akhir kehidupan dunia, dan lokomotifnya hanya akan terhenti oleh tiupan sangkakala Malaikat Israfil.

         Dalam Ad-Da'wah: Qawa'd wa Ushul, Jum'ah Amin Abdul Aziz menyatakan bahwa dakwah yang diwajibkan atas kaum muslimin adalah dakwah yang bertujuan dan berorienrtasi pada pembangunan masyarakat Islam, seperti yang dikerjakan oleh para rasul Allah yang memulai dakwahnya di kalangan masyarakat jahiliyah. Tujuan ini—menurut Jum'ah—membutuhkan suatu jamaah yang berupaya menegakkan Islam dalam realitas kehidupan, sehingga manusia melihat keteladanan yang baik, menyaksikan keindahan Islam yang terefleksi dalam masyarakat muslim, dan pengaruh agama ini tertoreh pada jiwa setiap orang yang mengimaninya. (Jum'ah Amin Abdul Aziz: 2005).

         Tak pelak lagi, aktivitas dakwah menampilkan dua dimensi. Pertama, dakwah adalah kewajiban yang syar'i, dan kedua, kebutuhan yang mendesak secara sosial.

         Dakwah sebagai kewajiban syar'i ditegaskan dalam berbagai ayat Alquran dan hadis Nabi saw. Di antaranya, firman Allah dalam QS. Âli 'Imrân, ayat 104:


 Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munka; merekalah orang-orang yang beruntung.

         Ayat ini secara jelas menunjukkan kewajiban berdakwah. Indikatornya adalah terdapatnya لام الأمر  (lâm yang berarti perintah) dalam frase ولتكن   dan frase منكم  yang menunjukkan fardu kifayah. Olehkarena itu, seluruh umat Islam diperintahkan agar sebagain dari mereka melaksanakan kewajiban ini. Ketika ada sekelompok orang yang melaksanakanya, kewajiban itu gugur dari yang lain. Jika tidak seorang pun yanhg melaksanakanya, mereka semua menanggung dosanya. Ketika seorang muslim melihat kemungkaran yang dilakukan secara terang-terangan, Rasulullah saw. mewajibkan setiap muslim untuk mengubah kemungkaran tersebut semaksimal kemampuannya, sebagaimana sabdanya:

من رأى منكم منكرا فليغير بيده، فإن لم يستطع فبلسـانه، وإن لم يستطع فبقلبه، وذالك أضعف الإيمــان. (رواه مسلم).

Barangsiapa di antara kamu yang melihat suatu kemungkaran, hendaklah diubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak sanggup, maka dengan hatinya; itulah selemah-lemah iman. (HR. Muslim).

         Begitu pula firman Allah dalam QS. Al-Baqarah, ayat 159—160:

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

         Ibn Katsir mengatakan bahwa ini merupakan ancaman yang keras bagi orang yang menyembunyikan ajaran yang dibawa oleh para rasul berupa petunjuk yang menjelaskan tentang berbagai tujuan yang benar dan petunjuk yang bermanfaat untuk hati, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah kepada para hamba-Nya di dalam kitab-kitab-Nya yang telah diturunkan kepada para rasul-Nya. (Ibn Katsir: 2/74).

         Sebagaimana halnya sebagai kewajiban syar'i, dakwah juga merupakan kebutuhan masyarakat karena beberapa alasan.

         Pertama, manusia membutuhkan orang yang bisa menjelaskan kepada mereka apa-apa yang yang diperintahkan oleh Allah untuk menegakkan argumentasi (hujjah) atas mereka. Ini adalah tugas para rasul, karena tidak ada hukuman tanpa didahului oleh peringatan (QS. Yâsin : 6 dan al-Isrâ`: 15).

         Kedua, kondisi kehidupan sosial saat ini diwarnai oleh kerusakan, ketamakan, dan hawa nafsu. Sementara itu, para pelakunya menginginkan agar kerusakan tersebut tersebar dimasyarakat agar masyarakat menjadi seperti mereka (QS. An-Nisâ`: 89 dan at- Tawbah: 67).

         Oleh karena itu, merupakan keharusan bagi orang-orang beriman untuk menegakkan nilai-nilai kebajikan dalam masyarakat seraya menyebarkan "virus"-nya secara meluas demi terciptanya tatanan masyarakat modern yang ideal dalam perspektif Islam.

Sasaran Dakwah: Masyarakat Modern yang Jahili

         Awal kejatuhan manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk material adalah dampak langsung dari munculnya humanisme dalam panggung sejarah. Hal tersebut ditandai dengan adanya renaisans (renaissance), yakni kerinduan akan nilai-nilai budaya leluhur dari Yunani dan Romawi. Lewat corong renaisans, humanisme mempromosikan potensi manusia melebihi batas-batas fitrahnya. Humanisme memfigurkan manusia sebagai titik pusat sentral alam yang bergerak ke arah pengukuhan manusia sebagai superman. Manusia yang merasa dirinya unggul karena penemuan sains dan teknologi melalui otaknya yang brilian,  membuatnya makin berambisi untuk menaklukkan alam yang ia anggap sebagai obyek yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia.

          Sebagai akibatnya—seperti yang disaksikan sekarang—terjadilah kemarahan alam yang berbalik memukul manusia dalam bentuk banjir, luapan lumpur, krisis energi, yang merupakan ancaman paling hebat yang pada hakikatnya adalah akibat ulah manusia sendiri dengan hasil penemuannya yang telah dipisahkan dari nailai-nlai fitarahnya. Ini adalah dimensi pertama dari mayarakat modern jahili yang merupakan sasaran dakwah, yakni kemanusiaan yang tidak bertuhan (humanisme).

         Dimensi kedua adalah materi yang tidak bertuhan (materialisme), yang menganggap realitas kehidupan ini cuma materi. Oleh sebab itu, manusia memfoluskan perhatian penuh kepada materi sebagai titik tumpuan. Materialisme ilmiah telah menarik perhatian jutaan ilmuwan untuk ikut memikirkan konsep-konsep materialisme untuk dipasarkan di tengah-tengah masyarakat modern yang jahili. Masyarakat model ini sekarang begitu tertarik dengan propaganda kaum materialis yang menawarkan potensi materi dalam kehidupan manusia melalui berbagai dimensi kebutuhan. Dengan promosi yang efektif disertai iklan yang gencar melalui teknologi informasi, masyarakat diracuni dengan aneka barang produksi yang sebenarnya tidak primer.

         Dimensi ketiga—sebagai sasaran dakwah—adalah perilaku yang tidak bertuhan (ateisme), yaitu suatu pandangan hidup yang tidak mengakui Tuhan secara konsepsional karena Dia tidak dapat diinderai dan tidak bisa dirasakan secara langsung dalam bentuk pengalaman. Tuhan hanya hadir dalam pikiran, tidak hadir dalam tindakan.

         Di samping konsepsional, ateisme juga muncul dalam pola perilaku nyata. Artinya, manusia manusia begitu sibuk dengan materi, sehingga tidak acuh dengan Tuhan. Manusia tidak punya sedikit waktu pun untuk merenungkan Tuhan, apa lagi menghayati keberadaan-Nya yang kemudian menuruti perintah-perintah-Nya. Ateisme dengan model seperti ini banyak terdapat dalam struktur kehidupan masyarakat modern sekarang.

         Itulah tiga dimensi pokok pemaknaan manusia atas kehidupan modern yang penulis identifikasi sebagai "modern jahili" yang notabene menjadi sasaran kerja dakwah para kader yang telah menisbatkan diri bergabung dalam kafilah dakwah yang panjang ini.

Menuju Masyarakat Modern yang Rabbani

Tiada perjuangan yang paling mulia melebihi perjuangan membangun umat manusia. Pembanguan yang dimaksud adalah upaya penyelamatan masyarakat dari kondisi-kondisi yang telah dideskripsikan di atas,  ke arah penyempurnaan kualitas hidup yang berpijak kepada falsafah fitrah penciptaan manusia sebagai makhluk rabbani.  Islam telah  memberikan konsep tentang prototipe sosial yang ideal dalam dimensi masyarakat modern yang dinamis dan kreatif. 

Pertama, secara struktural, masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertauhid, yakni masyarakakt yang menjadikan ajaran Allah swt. sebagai satu-satunya acuan nilai dalam interaksi sosialnya, sehingga seseorang  akan berlaku sama pada saat berinteraksi dengan siapa saja. Kesetaraan dalam hak dan kewajiban di antara seluruh anggota masyarakat terlindungi dengan baik sehingga seseorang akan merasakan penghargaan yang tinggi dan proporsional di tengah-tengah lingkungannya.

Kedua, manusia telah dipercaya untuk mengemban misi kemanusiaan untuk mewujudkan statusnya sebagai mandataris Allah di bumi. Untuk itu, ia harus menanamkan "akhlak rabbâni", yang salah satu di antaranya adalah kreativitas. Ia harus berfungsi secara progresif untuk memperbaiki kesejahteraan umat dalam seluruh aspek kehidupan. Dari sini, dapat dikatakan bahwa masyarakat rabbâni adalah masyarakat yang dinamis dan progresif.

Ketiga, ciri yang lain dari masyarakat yang menjadi output dakwah adalah yang menegakkan supremasi hukum. Siapa pun yang bersalah dikenakan hukuman. Tidak peduli, apakah ia pejabat negara atau pun rakyat jelata. Semuanya diperlakukan sama. Sebaliknya, siapa pun yang benar wajib dibela, meski dia budak hitam yang tua renta.

Keempat, Islam telah menjadikan bekerja sebagai salah satu bentuk "jihad" yang tidak bisa dihindari. Dalam perspektif ini, nilai manusia tergantung pada hasil kerjanya yang menjadikannya makhluk terhormat. Dengan demikian, masyarakat modern-rabbani yang akan menjadi output dakwah adalah masyarakat yang produktif.

Kelima, tujuan yang harus dicapai melalui penjelmaan nilai-nilai yang mengatur masyarakat rabbani tertuang  dalam konsep falâh, yakni kesejahteraan yang dikaitkan dengan jelas baik terhadap individu maupun masyarakat. Di dalam Islam konsep kesejahteraan kolektif disajikan dalam semua dimensinya (spiritual, moral, fisik, ekonomi, politik, dan seterusnya), sangat berbeda dengan penekanan kesejahteraan ekonomi saja, seperti yang ditekankan dalam sosialisme ilmiah Marxis. Hal ini mengoindikasikan bahwa masyarakat Rabbani  yang menjadi output dakwah adalah masyarakat sejahtera dalam berbagai dimensi kehidupannya.

Penutup

Telah diuraikan secara singkat beberapa problematik masyarakat modern yang disadari atau tidak, kita terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, dalam aktivitas dakwahnya, setiap dai hendaknya mempersiapkan bekal yang mantap untuk menghadapi kompleksitas masyarakat yang menjadi sasaran dakwahnya, di samping perlu mengidentifikasi output seperti apa yang akan dihasilkan di dalam proses dakwahnya.

Masyarakat rabbani yang melahirkan peradaban Islam yang universal, bukanlah suatu utopia, tetapi terukir dalam sejarah Islam sebagai suatu peninggalan yang amat berharga untuk memompa ghirah dan semangat para mujahid dakwah. (Agustan Ahmad)
والله أعلم بالصـــواب.

MARAJI'
  
al-Qurân al-Karim.

'Abdul 'Aziz, Jum'ah Amin. Ad-Da'wah Qawâ`id wa Ushul. Terj. Abdus Salam Masykur dengan judul "Fiqih Dakwah", Solo: Intermedia, 2005.

Abdul Muiz, M.A., et. al. Tarbiyah Menjawab Tantangan (Refleksi 20Tahun Pembaharuan Tarbiyah di Indonesia). Jakarta: Robbani Press, 2002.

A.N., Firdaus, K.H. Panji-Panji Dakwah. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991.

Mustafa Masyhur. Thariq ad-Da'wah bain al-Ashâlah wa al-Inhirâf. Terj. Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, Lc. Dengan judul "Prinsip dan Penyimpangan Gerakan Dakwah". Jakarta: Robbani Press, 2001.

Saefuddin, A.M., et.al. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1991.

Tohari, Hamim. "Meretas Peradaban Unggul", Majalah Hidayatullah, Edisi 9 /XIX Januari, 2007.

Wahono, Untung. "Model Masyarakat Madinah", Majalah Hidayatullah, Edisi 9 /XIX Januari, 2007.


Yuk, Bagikan!

Posting Komentar

Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!

 
Copyright © 2014. Qalamedia Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger