"Masyarakat rabbani yang melahirkan peradaban Islam yang universal, bukanlah suatu utopia, tetapi terukir dalam sejarah Islam sebagai suatu peninggalan yang amat berharga untuk memompa ghirah dan semangat para mujahid dakwah."
Muqaddimah
Yang dimaksud dengan masyarakat modern adalah struktur masyarakat yang
dinamis dan kreatif untuk melahirkan
gagasan-gagasan demi kepentingan manusia dalam berbagai sektor kehidupan.
Seperti diketahui, masyarakat manusia telah ditinjau dari sudut pandang berbeda
oleh berbagai aliran pemikiran moral. Perbedaan itu muncul ketika titik berat
perspektifnya diletakkan pada aspek
alami dan kegiatan masyarakat yang berbeda. Menurut Alquran, atribut inti dari
masyarakat manusia adalah kepribadian yang mencakup kesadaran diri, pengarahan
diri, kehendak, dan intelek kreatif. (A.M. Saefuddin, et.al.: 1991).
Dakwah merupakan jalan lempang kehidupan menuju Tuhan yang terbentang
sejak manusia pertama menghuni bumi Allah ini. Di atas jalan ini, kafilah
panjang itu akan terus bergerak menjadi agen pengubah ('anasihir at-taghyir)
hingga akhir kehidupan dunia, dan lokomotifnya hanya akan terhenti oleh tiupan
sangkakala Malaikat Israfil.
Dalam Ad-Da'wah:
Qawa'd wa Ushul, Jum'ah Amin Abdul Aziz menyatakan bahwa dakwah yang
diwajibkan atas kaum muslimin adalah dakwah yang bertujuan dan berorienrtasi
pada pembangunan masyarakat Islam, seperti yang dikerjakan oleh para rasul
Allah yang memulai dakwahnya di kalangan masyarakat jahiliyah. Tujuan
ini—menurut Jum'ah—membutuhkan suatu jamaah yang berupaya menegakkan Islam
dalam realitas kehidupan, sehingga manusia melihat keteladanan yang baik,
menyaksikan keindahan Islam yang terefleksi dalam masyarakat muslim, dan
pengaruh agama ini tertoreh pada jiwa setiap orang yang mengimaninya. (Jum'ah
Amin Abdul Aziz: 2005).
Tak pelak lagi,
aktivitas dakwah menampilkan dua dimensi. Pertama, dakwah adalah
kewajiban yang syar'i, dan kedua, kebutuhan yang mendesak secara
sosial.
Dakwah sebagai kewajiban syar'i ditegaskan
dalam berbagai ayat Alquran dan hadis Nabi saw. Di antaranya, firman Allah
dalam QS. Âli 'Imrân, ayat 104:
Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munka; merekalah orang-orang yang beruntung.
Ayat
ini secara jelas menunjukkan kewajiban berdakwah. Indikatornya adalah
terdapatnya لام
الأمر (lâm yang berarti perintah) dalam frase
ولتكن
dan frase منكم yang
menunjukkan fardu kifayah. Olehkarena itu, seluruh umat Islam diperintahkan
agar sebagain dari mereka melaksanakan kewajiban ini. Ketika ada sekelompok
orang yang melaksanakanya, kewajiban itu gugur dari yang lain. Jika tidak
seorang pun yanhg melaksanakanya, mereka semua menanggung dosanya. Ketika
seorang muslim melihat kemungkaran yang dilakukan secara terang-terangan,
Rasulullah saw. mewajibkan setiap muslim untuk mengubah kemungkaran tersebut
semaksimal kemampuannya, sebagaimana sabdanya:
من رأى منكم منكرا
فليغير بيده، فإن لم يستطع فبلسـانه، وإن لم يستطع فبقلبه، وذالك أضعف الإيمــان.
(رواه مسلم).
Barangsiapa
di antara kamu yang melihat suatu kemungkaran, hendaklah diubahnya dengan
tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak sanggup, maka
dengan hatinya; itulah selemah-lemah iman. (HR. Muslim).
Begitu pula firman Allah dalam QS. Al-Baqarah,
ayat 159—160:
Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah taubat dan
mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah
Aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.
Ibn Katsir mengatakan
bahwa ini merupakan ancaman yang keras bagi orang yang menyembunyikan ajaran
yang dibawa oleh para rasul berupa petunjuk yang menjelaskan tentang berbagai
tujuan yang benar dan petunjuk yang bermanfaat untuk hati, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Allah kepada para hamba-Nya di dalam kitab-kitab-Nya yang telah
diturunkan kepada para rasul-Nya. (Ibn Katsir: 2/74).
Sebagaimana halnya
sebagai kewajiban syar'i, dakwah juga merupakan kebutuhan masyarakat
karena beberapa alasan.
Pertama, manusia
membutuhkan orang yang bisa menjelaskan kepada mereka apa-apa yang yang
diperintahkan oleh Allah untuk menegakkan argumentasi (hujjah) atas
mereka. Ini adalah tugas para rasul, karena tidak ada hukuman tanpa didahului
oleh peringatan (QS. Yâsin : 6 dan al-Isrâ`: 15).
Kedua, kondisi
kehidupan sosial saat ini diwarnai oleh kerusakan, ketamakan, dan hawa nafsu.
Sementara itu, para pelakunya menginginkan agar kerusakan tersebut tersebar
dimasyarakat agar masyarakat menjadi seperti mereka (QS. An-Nisâ`: 89
dan at- Tawbah: 67).
Oleh karena itu,
merupakan keharusan bagi orang-orang beriman untuk menegakkan nilai-nilai
kebajikan dalam masyarakat seraya menyebarkan "virus"-nya secara
meluas demi terciptanya tatanan masyarakat modern yang ideal dalam perspektif
Islam.
Sasaran Dakwah: Masyarakat
Modern yang Jahili
Awal kejatuhan manusia
dari makhluk spiritual menjadi makhluk material adalah dampak langsung dari
munculnya humanisme dalam panggung sejarah. Hal tersebut ditandai dengan adanya
renaisans (renaissance), yakni kerinduan akan nilai-nilai budaya leluhur
dari Yunani dan Romawi. Lewat corong renaisans, humanisme mempromosikan potensi
manusia melebihi batas-batas fitrahnya. Humanisme memfigurkan manusia sebagai
titik pusat sentral alam yang bergerak ke arah pengukuhan manusia sebagai superman.
Manusia yang merasa dirinya unggul karena penemuan sains dan teknologi melalui
otaknya yang brilian, membuatnya makin
berambisi untuk menaklukkan alam yang ia anggap sebagai obyek yang harus
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia.
Sebagai akibatnya—seperti yang disaksikan
sekarang—terjadilah kemarahan alam yang berbalik memukul manusia dalam bentuk
banjir, luapan lumpur, krisis energi, yang merupakan ancaman paling hebat yang
pada hakikatnya adalah akibat ulah manusia sendiri dengan hasil penemuannya
yang telah dipisahkan dari nailai-nlai fitarahnya. Ini adalah dimensi pertama
dari mayarakat modern jahili yang merupakan sasaran dakwah, yakni
kemanusiaan yang tidak bertuhan (humanisme).
Dimensi kedua
adalah materi yang tidak bertuhan (materialisme), yang menganggap realitas
kehidupan ini cuma materi. Oleh sebab itu, manusia memfoluskan perhatian penuh
kepada materi sebagai titik tumpuan. Materialisme ilmiah telah menarik
perhatian jutaan ilmuwan untuk ikut memikirkan konsep-konsep materialisme untuk
dipasarkan di tengah-tengah masyarakat modern yang jahili. Masyarakat
model ini sekarang begitu tertarik dengan propaganda kaum materialis yang
menawarkan potensi materi dalam kehidupan manusia melalui berbagai dimensi
kebutuhan. Dengan promosi yang efektif disertai iklan yang gencar melalui teknologi
informasi, masyarakat diracuni dengan aneka barang produksi yang sebenarnya
tidak primer.
Dimensi ketiga—sebagai
sasaran dakwah—adalah perilaku yang tidak bertuhan (ateisme), yaitu suatu
pandangan hidup yang tidak mengakui Tuhan secara konsepsional karena Dia tidak
dapat diinderai dan tidak bisa dirasakan secara langsung dalam bentuk
pengalaman. Tuhan hanya hadir dalam pikiran, tidak hadir dalam tindakan.
Di samping konsepsional,
ateisme juga muncul dalam pola perilaku nyata. Artinya, manusia manusia begitu
sibuk dengan materi, sehingga tidak acuh dengan Tuhan. Manusia tidak punya
sedikit waktu pun untuk merenungkan Tuhan, apa lagi menghayati keberadaan-Nya
yang kemudian menuruti perintah-perintah-Nya. Ateisme dengan model seperti ini
banyak terdapat dalam struktur kehidupan masyarakat modern sekarang.
Itulah tiga dimensi
pokok pemaknaan manusia atas kehidupan modern yang penulis identifikasi sebagai
"modern jahili" yang notabene menjadi sasaran kerja dakwah
para kader yang telah menisbatkan diri bergabung dalam kafilah dakwah yang
panjang ini.
Menuju Masyarakat Modern yang Rabbani
Tiada
perjuangan yang paling mulia melebihi perjuangan membangun umat manusia.
Pembanguan yang dimaksud adalah upaya penyelamatan masyarakat dari
kondisi-kondisi yang telah dideskripsikan di atas, ke arah penyempurnaan kualitas hidup yang
berpijak kepada falsafah fitrah penciptaan manusia sebagai makhluk rabbani. Islam telah memberikan konsep tentang prototipe sosial yang
ideal dalam dimensi masyarakat modern yang dinamis dan kreatif.
Pertama,
secara struktural, masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertauhid, yakni
masyarakakt yang menjadikan ajaran Allah swt. sebagai satu-satunya acuan nilai
dalam interaksi sosialnya, sehingga seseorang
akan berlaku sama pada saat berinteraksi dengan siapa saja. Kesetaraan
dalam hak dan kewajiban di antara seluruh anggota masyarakat terlindungi dengan
baik sehingga seseorang akan merasakan penghargaan yang tinggi dan proporsional
di tengah-tengah lingkungannya.
Kedua,
manusia telah dipercaya untuk mengemban misi kemanusiaan untuk mewujudkan
statusnya sebagai mandataris Allah di bumi. Untuk itu, ia harus menanamkan
"akhlak rabbâni", yang salah satu di antaranya adalah
kreativitas. Ia harus berfungsi secara progresif untuk memperbaiki kesejahteraan
umat dalam seluruh aspek kehidupan. Dari sini, dapat dikatakan bahwa masyarakat
rabbâni adalah masyarakat yang dinamis dan progresif.
Ketiga,
ciri yang lain dari masyarakat yang menjadi output dakwah adalah yang
menegakkan supremasi hukum. Siapa pun yang bersalah dikenakan hukuman. Tidak
peduli, apakah ia pejabat negara atau pun rakyat jelata. Semuanya diperlakukan
sama. Sebaliknya, siapa pun yang benar wajib dibela, meski dia budak hitam yang
tua renta.
Keempat,
Islam telah menjadikan bekerja sebagai salah satu bentuk "jihad" yang
tidak bisa dihindari. Dalam perspektif ini, nilai manusia tergantung pada hasil
kerjanya yang menjadikannya makhluk terhormat. Dengan demikian, masyarakat
modern-rabbani yang akan menjadi output dakwah adalah masyarakat
yang produktif.
Kelima,
tujuan yang harus dicapai melalui penjelmaan nilai-nilai yang mengatur
masyarakat rabbani tertuang dalam
konsep falâh, yakni kesejahteraan yang dikaitkan dengan jelas baik
terhadap individu maupun masyarakat. Di dalam Islam konsep kesejahteraan
kolektif disajikan dalam semua dimensinya (spiritual, moral, fisik, ekonomi,
politik, dan seterusnya), sangat berbeda dengan penekanan kesejahteraan ekonomi
saja, seperti yang ditekankan dalam sosialisme ilmiah Marxis. Hal ini mengoindikasikan
bahwa masyarakat Rabbani yang menjadi output
dakwah adalah masyarakat sejahtera dalam berbagai dimensi kehidupannya.
Penutup
Telah
diuraikan secara singkat beberapa problematik masyarakat modern yang disadari
atau tidak, kita terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, dalam aktivitas
dakwahnya, setiap dai hendaknya mempersiapkan bekal yang mantap untuk
menghadapi kompleksitas masyarakat yang menjadi sasaran dakwahnya, di samping
perlu mengidentifikasi output seperti apa yang akan dihasilkan di dalam
proses dakwahnya.
Masyarakat rabbani
yang melahirkan peradaban Islam yang universal, bukanlah suatu utopia, tetapi
terukir dalam sejarah Islam sebagai suatu peninggalan yang amat berharga untuk
memompa ghirah dan semangat para mujahid dakwah. (Agustan Ahmad)
والله أعلم
بالصـــواب.
MARAJI'
al-Qurân al-Karim.
'Abdul 'Aziz, Jum'ah Amin. Ad-Da'wah
Qawâ`id wa Ushul. Terj. Abdus Salam Masykur dengan judul "Fiqih
Dakwah", Solo: Intermedia, 2005.
Abdul Muiz, M.A., et. al. Tarbiyah
Menjawab Tantangan (Refleksi 20Tahun Pembaharuan Tarbiyah di Indonesia).
Jakarta: Robbani Press, 2002.
A.N., Firdaus, K.H. Panji-Panji
Dakwah. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991.
Mustafa Masyhur. Thariq ad-Da'wah
bain al-Ashâlah wa al-Inhirâf. Terj. Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, Lc. Dengan judul
"Prinsip dan Penyimpangan Gerakan Dakwah". Jakarta: Robbani Press,
2001.
Saefuddin, A.M., et.al. Desekularisasi
Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1991.
Tohari, Hamim. "Meretas
Peradaban Unggul", Majalah Hidayatullah, Edisi 9 /XIX Januari, 2007.
Wahono, Untung. "Model
Masyarakat Madinah", Majalah Hidayatullah, Edisi 9 /XIX Januari, 2007.
Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!