Setiap bertemu, teman yang lama tidak bersua denganku akan
berkomentar, "Gus, kamu kelihatan kurus sekali." Atau, "Tadi,
aku pikir salah lihat. Kirain, adiknya, gitu." Banyak dari
mereka yang tampak perihatin dengan penyakitku ini. Berbagai alternatif
pengobatan dan pengobatan alternatif mereka tawarkan.Mulai ruqyah syar'iyyah
hingga terapi ala "orang pintar". Untuk yang terakhir ini, saya punya
kisah lucu.
Suatu ketika, penyakit ini kambuh. Seorang teman, dengan
kelihatan agak gusar, sejak pagi menungguiku agar bisa bergerak. Nah, alhamdulillah,
pukul 09.00 wita harapannya terkabul: aku bisa menggerakkan badan lagi dan
berdiri dari pembaringan. Dengan sabar, ia mengantarkan aku ke RS
"Anutapura", sebuah rumahsakit kebanggaan warga kota Palu, dan
menungguiku di antara antrean pasien-pasien yang datang lebih dahulu. Setelah
mendaftar, aku menuju poliklinik penyakit dalam, sesuai dengan rujukan dokter
Puskesmas.
"Bapak menderita penyakit maag", kata
dokter yang memeriksaku. Setelah sejenak melongo keheranan, aku bertanya,
"Tapi, Dok, apa maag bisa bikin kaya orang strok, begitu?"
Dokter tampak sedikit kaget. "Sebenarnya, sakit Bapak
komplikasi, tapi maag itulah yang menonjol...." Aku keluar dengan
hati penuh tanda tanya. Ketika kuceritakan apa kata dokter tadi, temanku nyengir.
"Tidak masuk di akal, " katanya.
Karena tak puas, ia mengajakku kepada seorang ahli
pengobatan tradisional. Sejenak, aku agak ragu juga. Namun, demi menghormati
niat baiknya, aku setuju.
Di bawah terik matahari musim kemarau, kami berboncengan
melewati jalan aspal Palupi yang kelihatan mencair. Sepeminuman kemudian,
kami pun tiba di tempat itu. Sebuah rumah, tidak jauh dari belakang Masjid .... Ehm!
Begitu temanku mengutarakan maksud kedatangan, tiba-tiba
saja ibu yang menerima kami mual-mual di depan kami. Aku mencoba menenangkan
diri seraya memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan terkutuk.
Sejenak kemudian, si ibu memejamkan mata lalu tertawa
terbahak-bahak. Seorang putrinya yang sudah menikah, yang berada tidak jauh
dari tempat kami duduk berkata, "Sudah dia itu...." Aku tak mengerti
maksudnya.
"Siapa kamu?" tanya putri kepada ibunya yang kini
seakan "berada di alam lain". Si ibu menyilangkan kaki dan
memenyongkan mulut. Putrinya berbisik kepada kami, "Coba Bapak
ingat-ingat, barangkali ada temannya Bapak yang gayanya seperti itu." Aku
beristigfar di dalam hati, "Ampuni aku, wahai Tuhan".
Kini si anak berdialog dengan ibunya yang kesurupan itu.
"Siapa
kamu?"
"Ah, masa kamu tidak tahu saya," kata si
ibu sambil bibirnya bertambah monyong. Jujur saja, bulu kudukku merinding.
"Siapa kamu? Tetangganya? Teman kantornya? Sebutkan
namamu!"
"Ha.. ha.. ha.., saya tidak perlu menyebutkan nama. Masa
kamu tidak kenal saya?"
"Kamu mau apakan ini Bapak? Kamu mau bunuh?"
"Huh...! Tidak mau saya bunuh, tapi saya mau
bikin dia menderita.... Saya mau bikin lumpuh!"
"Kenapa kau mau bikin dia lumpuh?"
"Saya iri sama dia, karena dia mau rebut saya punya
posisi."
"Lalu, kamu ini siapa? Taman kantornya?"
"Iya. Saya teman kantornya ...."
Teman saya bertanya kepadanya tentang ciri-ciri "teman
kantor" yang dimaksudnya itu. Si ibu pun menyebutkan beberapa ciri. Tak
lama kemudian, si ibu "siuman" dari kesurupannya.
"Penyakit Bapak berat. Saya tak mampu obati. Kalau
Bapak mau, nanti suami saya yang pegang. Bapak bisa datang ke sini sebantar
malam."
Positif sudah keyakinanku bahwa ini adalah rekayasa setan
yang mengambil kesempatan dengan penyakitku ini untuk menjerumuskan aku dari
jalan Allah yang lurus. Aku sangat kenal ciri teman yang disebutkannya itu. Dia
sangat baik kepadaku. Orangnya rasional, berpendidikan tinggi, dan sangat anti-sesuatu yang berbau takhayul.
A'uzu billahi minasysyaithanirrajim.
Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!