Secara
historis, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni
pada zaman Nabi Muhammad saw., dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat
dan tabiin serta masa-masa generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang
dengan mengalami pasang surut dan karakteristiknya masing-masing. Bahwa ijtihad
itu telah ada sejak zaman Rasul saw., antara lain, dapat dilacak dari riwayat
‘Amr ibn al-‘Āṣ yang mendengar Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ
الدَّرَاوَرْدِيُّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ
عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ عَمْرِو
بْنِ الْعَاص أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ
أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ قَالَ
يَزِيدُ فَحَدَّثْتُ بِهِ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ
فَقَالَ هَكَذَا حَدَّثَنِيهِ أَبُو سَلَمَةَ عَنْأَبِي هُرَيْرَة.1
“Apabila seorang hakim hendak menetapakan suatu hukum kemjudian
dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, baginya dua pahala. Dan, apabila
dia hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah
ijtihadnya, untuknya satu pahala”.
Meskipun demikian,
dalam hubungannya dengan dengan ijtihad, umat manusia terbagi dalam dua kelompok.
Kelompok pertama, orang-orang yang mempunyai kesanggupan dan kewenangan
untuk berijtihad. Kelompok kedua—yang merupakan kelompok terbesar—adalah
orang-orang yang tidak memiliki ‘sarana’ ijtihad, dan dengan begitu, mereka
tidak mampu melaksanakannya.
Dapat
dibayangkan betapa kacaunya tata kehidupan umat mausia sekiranya Allah
mewajibkan setiap orang untuk berijtihad dalam melakukan ajaran agamanya. Dapat
dipastikan, seluruh aktivitas manusia akan berjalan sangat lamban, bahkan
mengalami kemandekan, padahal aktivitas duniawi juga merupakan salah satu di
antara tuntutan Tuhan yang harus dilaksanakan.
Tesis di atas
menyiratkan pemahaman bahwa ijtihad selalu diperlukan dalam kehidupan modern
sebagai solusi dan jawaban atas permasalahan-permasalahan baru yang sering
dihadapi dalam kehidupan manusia modern. Oleh karena itu, ia merupakan
aktivitas yang mulia bagi mereka yang mempunyai kapabilitas untuk
melaksanakannya.. Namun, alih-alih menjadi solusi, ijtihad justeru akan
menimbulkan rentetan masalah apabila dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki
otoritas. Maka, tidak ada pilihan bagi mereka yang ingin melakukan aktivitas
mulia ini selain memiliki “sarana”-nya dengan sejumlah persyaratan yang harus
dimilikinya.
Ijtihad dan Mujtahid
Secara
etimologis, kata mujtahid adalah ism fā’il dari bentuk maṣdar “ijtihād” yang berasal
kata al-jahd, dari akar kata "ج
– هـ - د" dan mengandung
makna “kesulitan (al-masyaqqah), batas dan tujuan (al-nihāyah wa al-gāyah),
keluasan dan beban (al-wus’ wa al-ṭāqah) ”.2 Menurut
bahasa, ijtihād sendiri bermakna
3."بذل
غاية الجهد فى الوصول إلى أمر من الأمور، أو فعل من الأفعـال"
(memaksimalkan segenap tenaga untuk sampai kepada suatu urusan atau
pekerjaan). Dalam istilah para ahli usul fikih, ijtihad adalah:
"بذل الجهد للوصول إلى الحكم الشرعي من
دليل تفصيلي من الأدلة الشرعية."4
(Memaksimalkan/mengerahkan
segenap tenaga untuk sampai kepada hukum syarak dari dalil-dalilnya yang
terperinci).
Verba
yajtahid (berijtihad) dan nomina ijtihād dapat ditemui secara
dini pada bagian awal kitab-kitab fikih, khususnya pada bab ṭahāra, ṣalāt,
dan ṣiyām. Dalam bab-bab itu ditemukan frase semisal “berijtihad
menentukan bejana tempat air bersih”, “berijtihad menentukan masuknya waktu
salat”, “berijtihad menentukan arah kiblat”, serta “berijtihad memastikan awal
bulan Ramadan”. Dalam hal-hal tersebut, term ijtihad mengandung pengertian
“suatu upaya pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan suatu persangkaan
kuat (ẓann) yang didasarkan suatu petunjuk yang diberlakukan dalam hal
bersangkutan.”5
Masalah ijtihad juga
akan didapatkan dalam Bāb al-Qaḍā` (peradilan). Akan ditemukan pada bab
ini—dalam kitab fikih mana pun—ijtihad merupakan salah satu persyaratan bagi
seorang hakim. Dalam hal ini, term ijtihad mempunyai konotasi makna terbatas
dan tertentu (istilah teknis). Makna ijtihad pada tataran tersebut berimplikasi makna:
...
penguasaan atas ilmu-ilmu tertentu dengan tingkat kecerdasan tertentu dan
dengan tingkat kecerdasan tertentu, yang memungkinkan seseorang mampu mengolah
sumber-sumber hukum dan melakukan penalaran yang didasarkan pada kaidah-kaidah
ilmiah, dan sampai kepada kesimpulan/pendapat yang bersifat persangkaan kuat,
yang dirumuskan dalam suatu diktum hukum.6
Orang-orang yang mampu menetapkan hukum dalam pengertian ijtihad
khusus inilah—dalam makalah ini—yang dimaksud dengan mujtahid.
Dari
uraian di atas, tampak jelas bahwa ijtihad/mujtahid mempunyai dua pengertian,
yakni (1) umum (tidak terbatas) dan (2) khusus dan terbatas. Dalam pengertian
umum, ijtihad mengacu kepada penalaran (upaya pemikiran) untuk menentukan
pilihan ketika seseorang tidak mamiliki pegangan yang meyakinkan sehubungan
dengan pelaksanaan ibadah ataupun muamalah tertentu, sehingga ia harus
mempunyai sangkaan kuat yang dapat dijadikannya pegangan dalam kegiatan
tersebut. Ijtihad dalam perspektif ini merupakan keharusan individual (fardu
ain) yang menyangkut kepentingan diri-sendiri.
Sedangkan,
ijtihad/mujtahid dalam pengertian terbatas mengacu kepada penalaran ilmiah dan
merupakan technische term, sehingga aktivitas ini sulit “dibebankan”
kepada setiap orang. Orang yang mampu berijtihad “syarat-syarat teknis”
tersebutlah yang dimaksudkan sebagai mujtahid dalam definisi ini.7
Ruang Gerak Ijtihad
Allah swt. adalah
pemilik hukum setiap masalah, namun banyak di antara masalah-masalah itu yang
dibiarkan oleh-Nya tanpa ada ketentuan hukumnya. Dia hanya menunjukkan
tanda-tanda serta cara-cara untuk membimbing para mujtahid untuk menggali
ketentuan hukumnya. Apabila peristiwa yang hendak ditetapkan hukumnya itu telah
dirunjuk oleh dalil ṣarīḥ yang dipastikan datangnya dari al-Syāri’ (qaṭ’iy
al-wurūd) dan pasti penunjukkannya kepada makna tertentu (qaṭ’iy al-dalālah),
dalam hal seperti ini tidak berlaku ijtihad padanya.
Ada pun
peristiwa-peristiwa yang masuk dalam wilayah ijtihad adalah:
(1) Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nas (naṣ) yang ẓannī
al-wurūd (hadis-hadis āhād) dan ẓannī al-dalālah (nas Alquran
yang masih dapat ditafsirkan atau ditakwilkan);
(2)Peristiwa-peristiwa
yang tidak ada nasnya sama sekali. Peristiwa-peristiwa semacam ini dapat
diijtihadkan dengan leluasa.
(3) Peristiwa-peristiwa
yang suadah ada nasnya yang qaṭ’iy al-ṡubūt dan qaṭ’iy al-dalālah.
Yang terakhir ini khusus dijalankan oleh ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb r.a. Beliau
meneliti nas-nas tersebut tentang tujuan al-Syāri’ dalam menetapkan hukum,
kemudian menerapkan ijtihad padanya, sekali pun sudah memiliki nas yang qaṭ’iy.
Syarat-Syarat Mujtahid
Pintu ijtihad
selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad selalu
diperlukan. Namun demikian tidak berarti setiap orang boleh melakukan ijtihad.
Akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak dan mau berijtihad,
tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan mau
atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang
tidak mampu untuk berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad
seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat
mujtahid.
Pada umumnya,
syarat-sayar ijtihad yang dikemukakan oleh para ulama usul fikih berfokus pada
empat hal.
Pertama,
memiliki pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya. Hal itu harus
ditunjang oleh pengkajian dan penelaahan seluk-beluk kesusasteraan Arab baik
yang berbentu prosa maupun puisi.
Kedua,
mengetahui nas-nas Alquran perihal hukum-hukum syarak yang dikandungnya,
ayat-ayat hukumnya, dan cara meng-istinbāṭ-kan hukum darinya. Mujtahid
juga harus mengetahui asbāb al-nuzūl, nāsikh wa al-mansūkh,
serta tafsir dan takwil dari ayat-ayat yang di-istinbāṭ-kan.
Ketiga,
mengetahui nas-nas hadis. Mujtahid harus mengetahui hukum syariat yang
didatangkan oleh hadis dan mampu mengeluarkan hukum mukalaf darinya. Di samping
itu, ia juga dituntut mengetahui derajat dan nilai hadis.
Keempat,
mengetahui maqāṣid al-syarī’ah, tingkah laku dan adat kebiasaan manusia
yang mengandung maslahat dan madarat, serta ‘illat hukum dan dapat
menganalogikan peristiwa dengan peristiwa yang lain.8
Dalam kitab Uṣūl
al-fiqh, Muḥammad Abū Zahrah mengajukan delapan syarat, yaitu (1)
mengetahui bahasa Arab, (2) mengetahui ilmu Alquran; nāsikh dan mansūkh-nya,
(3) mengetahui dengan baik sunnah, (4) mengetahui posisi-posisi ijmak
dan kontroversialitas, (5) mengetahui analogi (al-qiyās), (6) mengetahui
maqāṣid al-aḥkā, (7) memiliki pemahaman dan pandangan yang sehat, dan
(8) memiliki niat yang niat dan iktikad yang bersih dan lurus.9
Muhammad Musa
Tawana dalam bukunya yang berjudul al-ijtihad mengelompokkan syarat-syarat
mujtahid ke dalam beberapa bagian berikut rinciannya.
Pertama,
persyaratan umum (al-syurūt al-‘āmmah), yang meliputi: (1) balig, (2)
berakal sehat, (3) kuat daya nalarnya, dan (4) beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan
pokok (al-syurūt al-asāsiyyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang
menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut: (1) mengetahui Qur’an, (2)
memahami sunnah, (3) memahami maksud-maksud hukum syariat, dan (4)
mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawā’id al-kulliyāt) hukum Islam.
Ketiga,
persyaratan penting (al-syurūt al-hāmmah). Syarat-syarat ini mencakup:
(1) menguasai bahasa Arab, (2) mengetahui ilmu uṣul al-fiqh, (3)
mengetahui ilmu mantik atau logika, dan (4) mengetahui hukum asal suatu perkara
(al-barā’ah al-aṣliyah).
Keempat,
persyaratan pelengkap (al-syurūt al-takmīliyyah) yang mencakup: (1)
tidak ada dalil qaṭ’iy bagi masalah yang diijtihadi, (2) mengetahui
tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat, dan (3) memelihara kesalehan dan
ketakwaan diri.10
Simpulan
Beberapa
simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas.
1. Ijtihad
dilakukan oleh mujtahid untuk mengeluarkan hukum berdasarkan Kitāb Allāh
dan Sunnah Rasūl. Namun, tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja
dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat mujtahid, seseorang harus
memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Syarat-syarat pokok yang
disepakati oleh para ulama uṣūl fiqh dalam hal ini ada empat: (a)
memiliki pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, (b) mengetahui
nas-nas Alquran perihal hukum-hukum syarak yang dikandungnya, (c) mengetahui
nas-nas hadis, dan (d) mengetahui maqāṣid al-syarī’ah.
3. Di samping yang empat yang disebutkan, di
kalangan ulama ada yang menetapkan syarat-syarat lain yang masing-masing—secara
katagoris—dapat disebut sebagai (a) syarat-syarat umum (kuat daya nalar
dan baik akidahnya), (b) syarat-syarat penting (seperti mengetahui usul
fikih dan menguasai logika), dan (c) syarat-syarat pelengkap (seperti
mengetahui tempat-tempat ijmak dan perbedaan pendapat).
[1]HR.
al-Bukhāriy, Muslim, Abū Dāwud, al-Nasā`iy, al-Turmużiy, Aḥmad, dan Ibn Ḥibbān.
Redaksi hadis di atas berasal dari al-Bukhāriy. Lihat, Abū ‘Abd Allāh Mujḥammad
ibn Ismā’īl al-Bukhāriy, al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ, Juz 4, Cet. I, (Kairo:
Maktabah al-Salfiyyah, 1400 H)h. 372.
[2]Majma’
al-Lugah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ, Jilid I, (Istanbul: al-Maktabah
al-Islāmiyyah, t.th.), h. 142; Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, (t.t.: t.p.,
t.th.), h. 234; dan Khālid Ramaḍān Ḥasan, Mu’jam Uṣūl al-Fiqh, Cet. I,
(Mesir: al-Rauḍah, 1998),h. 21.
[3]Muḥammad
Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh, (t.t.:
Dār al-Fikr al-‘Arabiy, t.th.), h. 379.
[4]‘Abd
al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, Cet. XII, (t.t.: Dār
al-Qalam, 1987), h. 216.
[5]Ali
Yafie, Menggagas Fiqih Sosial (Cet. II; Bandung: Mizan, 1994), h. 84.
[6]Ibid.,
h. 85.
[7]Dari
aspek operasionalnya, ijtihad dibedakan atas (1) ijtihad fardiy dan (2)
ijtihad jamā’iy. Setiap ijtihad yang belum atau tidak memperoleh
persetujuan dari para mujtahid terhadap suatu masalah disebut ijtihad fardiy.
Sebaliknya, ijtihad jamā’iy adalah setiap ijtihad yang telah mendapat
persetujuan dari para mujtahid terhadap suatu masalah.
[8]Mukhtar
Yahya dan Fatchrrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Cet. I,
(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), h. 382—383. Bandingkan dengan ‘Abd al-Wahhāb
Khallāf, Op.cit., h. 218—219.
[9]Muḥammad
Abū Zahrah, Op.cit., h. 380—388.
[10] “Pengertian
dan Syarat-Syarat Mujtahid”, (http://kajad-alhikmahkajen.blogspot.com) diakses pada Jumat, 11/03/2011.
DAFTAR PUSTAKA
Abū
Zahrah, Muḥammad. Uṣūl al-Fiqh. t.t.:
Dār al-Fikr al-‘Arabiy, t.th.
al-Bukhāriy,
Abū ‘Abd Allāh Mujḥammad ibn Ismā’īl. al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ. Juz 4, Cet. I; Kairo:
Maktabah al-Salfiyyah, 1400 H.
Ḥasan,
Khālid Ramaḍān. Mu’jam Uṣūl al-Fiqh. Cet. I; Mesir: al-Rauḍah, 1998.
http://kajad-alhikmahkajen.blogspot.com. “Pengertian
dan Syarat-Syarat Muj-tahid”,
diakses pada Jumat, 11/03/2011.
Khallāf,
‘Abd al-Wahhāb. ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh. Cet. XII; t.t.: Dār al-Qalam,
1987.
Majma’
al-Lugah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ. Jilid I, Istanbul: al-Maktabah
al-Islāmiyyah, t.th.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir. t.t.: t.p.,
t.th.
Yafie, Ali. Menggagas
Fiqih Sosial. Cet. II; Bandung: Mizan, 1994.
Yahya,
Mukhtar dan Fatchrrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Cet.
I; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986.
Posting Komentar
Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!