Home » » Ingin Jadi Mujtahid? Ini Syarat-Syaratnya!

Ingin Jadi Mujtahid? Ini Syarat-Syaratnya!

Oleh: A.A. Danie | 21 Apr 2013 | 15.22



Secara historis, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad saw., dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabiin serta masa-masa generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang dengan mengalami pasang surut dan karakteristiknya masing-masing. Bahwa ijtihad itu telah ada sejak zaman Rasul saw., antara lain, dapat dilacak dari riwayat ‘Amr ibn al-‘Āṣ yang mendengar Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا ‏ ‏هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ الدَّرَاوَرْدِيُّ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ عَنْ ‏ ‏مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي قَيْسٍ ‏ ‏مَوْلَى ‏ ‏عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَمْرِو بْنِ الْعَاص‏ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَقُولُ ‏ ‏إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ ‏قَالَ ‏ ‏يَزِيدُ ‏ ‏فَحَدَّثْتُ بِهِ ‏ ‏أَبَا بَكْرِ بْنَ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ ‏ ‏فَقَالَ هَكَذَا ‏ ‏حَدَّثَنِيهِ ‏ ‏أَبُو سَلَمَةَ ‏‏عَنْ‏أَبِي هُرَيْرَة.1
“Apabila seorang hakim hendak menetapakan suatu hukum kemjudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, baginya dua pahala. Dan, apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya, untuknya satu pahala”.
Meskipun demikian, dalam hubungannya dengan dengan ijtihad, umat manusia terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama, orang-orang yang mempunyai kesanggupan dan kewenangan untuk berijtihad. Kelompok kedua—yang merupakan kelompok terbesar—adalah orang-orang yang tidak memiliki ‘sarana’ ijtihad, dan dengan begitu, mereka tidak mampu melaksanakannya.
Dapat dibayangkan betapa kacaunya tata kehidupan umat mausia sekiranya Allah mewajibkan setiap orang untuk berijtihad dalam melakukan ajaran agamanya. Dapat dipastikan, seluruh aktivitas manusia akan berjalan sangat lamban, bahkan mengalami kemandekan, padahal aktivitas duniawi juga merupakan salah satu di antara tuntutan Tuhan yang harus dilaksanakan.
Tesis di atas menyiratkan pemahaman bahwa ijtihad selalu diperlukan dalam kehidupan modern sebagai solusi dan jawaban atas permasalahan-permasalahan baru yang sering dihadapi dalam kehidupan manusia modern. Oleh karena itu, ia merupakan aktivitas yang mulia bagi mereka yang mempunyai kapabilitas untuk melaksanakannya.. Namun, alih-alih menjadi solusi, ijtihad justeru akan menimbulkan rentetan masalah apabila dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki otoritas. Maka, tidak ada pilihan bagi mereka yang ingin melakukan aktivitas mulia ini selain memiliki “sarana”-nya dengan sejumlah persyaratan yang harus dimilikinya.

Ijtihad dan Mujtahid
Secara etimologis, kata mujtahid adalah ism fā’il  dari bentuk maṣdar “ijtihād” yang berasal kata al-jahd, dari akar kata "ج – هـ - د"  dan mengandung makna “kesulitan (al-masyaqqah), batas dan tujuan (al-nihāyah wa al-gāyah), keluasan dan beban (al-wus’ wa al-ṭāqah) ”.2 Menurut bahasa, ijtihād sendiri bermakna
  3."بذل غاية الجهد فى الوصول إلى أمر من الأمور، أو فعل من الأفعـال" (memaksimalkan segenap tenaga untuk sampai kepada suatu urusan atau pekerjaan). Dalam istilah para ahli usul fikih, ijtihad adalah:
 "بذل الجهد للوصول إلى الحكم الشرعي من دليل تفصيلي من الأدلة الشرعية."4
(Memaksimalkan/mengerahkan segenap tenaga untuk sampai kepada hukum syarak dari dalil-dalilnya yang terperinci).
          Verba yajtahid (berijtihad) dan nomina ijtihād dapat ditemui secara dini pada bagian awal kitab-kitab fikih, khususnya pada bab ṭahāra, ṣalāt, dan ṣiyām. Dalam bab-bab itu ditemukan frase semisal “berijtihad menentukan bejana tempat air bersih”, “berijtihad menentukan masuknya waktu salat”, “berijtihad menentukan arah kiblat”, serta “berijtihad memastikan awal bulan Ramadan”. Dalam hal-hal tersebut, term ijtihad mengandung pengertian “suatu upaya pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan suatu persangkaan kuat (ẓann) yang didasarkan suatu petunjuk yang diberlakukan dalam hal bersangkutan.”5
          Masalah ijtihad juga akan didapatkan dalam Bāb al-Qaḍā` (peradilan). Akan ditemukan pada bab ini—dalam kitab fikih mana pun—ijtihad merupakan salah satu persyaratan bagi seorang hakim. Dalam hal ini, term ijtihad mempunyai konotasi makna terbatas dan tertentu (istilah teknis). Makna ijtihad pada tataran tersebut  berimplikasi makna:
... penguasaan atas ilmu-ilmu tertentu dengan tingkat kecerdasan tertentu dan dengan tingkat kecerdasan tertentu, yang memungkinkan seseorang mampu mengolah sumber-sumber hukum dan melakukan penalaran yang didasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah, dan sampai kepada kesimpulan/pendapat yang bersifat persangkaan kuat, yang dirumuskan dalam suatu diktum hukum.6
Orang-orang yang mampu menetapkan hukum dalam pengertian ijtihad khusus inilah—dalam makalah ini—yang dimaksud dengan mujtahid.
          Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa ijtihad/mujtahid mempunyai dua pengertian, yakni (1) umum (tidak terbatas) dan (2) khusus dan terbatas. Dalam pengertian umum, ijtihad mengacu kepada penalaran (upaya pemikiran) untuk menentukan pilihan ketika seseorang tidak mamiliki pegangan yang meyakinkan sehubungan dengan pelaksanaan ibadah ataupun muamalah tertentu, sehingga ia harus mempunyai sangkaan kuat yang dapat dijadikannya pegangan dalam kegiatan tersebut. Ijtihad dalam perspektif ini merupakan keharusan individual (fardu ain) yang menyangkut kepentingan diri-sendiri.
          Sedangkan, ijtihad/mujtahid dalam pengertian terbatas mengacu kepada penalaran ilmiah dan merupakan technische term, sehingga aktivitas ini sulit “dibebankan” kepada setiap orang. Orang yang mampu berijtihad “syarat-syarat teknis” tersebutlah yang dimaksudkan sebagai mujtahid dalam definisi ini.7
Ruang Gerak Ijtihad
      Allah swt. adalah pemilik hukum setiap masalah, namun banyak di antara masalah-masalah itu yang dibiarkan oleh-Nya tanpa ada ketentuan hukumnya. Dia hanya menunjukkan tanda-tanda serta cara-cara untuk membimbing para mujtahid untuk menggali ketentuan hukumnya. Apabila peristiwa yang hendak ditetapkan hukumnya itu telah dirunjuk oleh dalil ṣarīḥ yang dipastikan datangnya dari al-Syāri’ (qaṭ’iy al-wurūd) dan pasti penunjukkannya kepada makna tertentu (qaṭ’iy al-dalālah), dalam hal seperti ini tidak berlaku ijtihad padanya.
          Ada pun peristiwa-peristiwa yang masuk dalam wilayah ijtihad adalah:
(1) Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nas (naṣ) yang ẓannī al-wurūd (hadis-hadis āhād) dan ẓannī al-dalālah (nas Alquran yang masih dapat ditafsirkan atau ditakwilkan);
(2)Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nasnya sama sekali. Peristiwa-peristiwa semacam ini dapat diijtihadkan dengan leluasa.
(3) Peristiwa-peristiwa yang suadah ada nasnya yang qaṭ’iy al-ṡubūt dan qaṭ’iy al-dalālah. Yang terakhir ini khusus dijalankan oleh ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb r.a. Beliau meneliti nas-nas tersebut tentang tujuan al-Syāri’ dalam menetapkan hukum, kemudian menerapkan ijtihad padanya, sekali pun sudah memiliki nas yang qaṭ’iy.
Syarat-Syarat Mujtahid
Pintu ijtihad selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad selalu diperlukan. Namun demikian tidak berarti setiap orang boleh melakukan ijtihad. Akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak dan mau berijtihad, tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan mau atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang tidak mampu untuk berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat mujtahid.
Pada umumnya, syarat-sayar ijtihad yang dikemukakan oleh para ulama usul fikih berfokus pada empat hal.
Pertama, memiliki pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya. Hal itu harus ditunjang oleh pengkajian dan penelaahan seluk-beluk kesusasteraan Arab baik yang berbentu prosa maupun puisi.
Kedua, mengetahui nas-nas Alquran perihal hukum-hukum syarak yang dikandungnya, ayat-ayat hukumnya, dan cara meng-istinbāṭ-kan hukum darinya. Mujtahid juga harus mengetahui asbāb al-nuzūl, nāsikh wa al-mansūkh, serta tafsir dan takwil dari ayat-ayat yang di-istinbāṭ-kan.
Ketiga, mengetahui nas-nas hadis. Mujtahid harus mengetahui hukum syariat yang didatangkan oleh hadis dan mampu mengeluarkan hukum mukalaf darinya. Di samping itu, ia juga dituntut mengetahui derajat dan nilai hadis.
Keempat, mengetahui maqāṣid al-syarī’ah, tingkah laku dan adat kebiasaan manusia yang mengandung maslahat dan madarat, serta ‘illat hukum dan dapat menganalogikan peristiwa dengan peristiwa yang lain.8
Dalam kitab Uṣūl al-fiqh, Muḥammad Abū Zahrah mengajukan delapan syarat, yaitu (1) mengetahui bahasa Arab, (2) mengetahui ilmu Alquran; nāsikh dan mansūkh-nya, (3) mengetahui dengan baik sunnah, (4) mengetahui posisi-posisi ijmak dan kontroversialitas, (5) mengetahui analogi (al-qiyās), (6) mengetahui maqāṣid al-aḥkā, (7) memiliki pemahaman dan pandangan yang sehat, dan (8) memiliki niat yang niat dan iktikad yang bersih dan lurus.9
Muhammad Musa Tawana dalam bukunya yang berjudul al-ijtihad mengelompokkan syarat-syarat mujtahid ke dalam beberapa bagian berikut rinciannya.
Pertama, persyaratan umum (al-syurūt al-‘āmmah), yang meliputi: (1) balig, (2) berakal sehat, (3) kuat daya nalarnya, dan (4) beriman atau mukmin.
Kedua, persyaratan pokok (al-syurūt al-asāsiyyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut: (1) mengetahui Qur’an, (2) memahami sunnah, (3) memahami maksud-maksud hukum syariat, dan (4) mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawā’id al-kulliyāt) hukum Islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syurūt al-hāmmah). Syarat-syarat ini mencakup: (1) menguasai bahasa Arab, (2) mengetahui ilmu uṣul al-fiqh, (3) mengetahui ilmu mantik atau logika, dan (4) mengetahui hukum asal suatu perkara (al-barā’ah al-aṣliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurūt al-takmīliyyah) yang mencakup: (1) tidak ada dalil qaṭ’iy bagi masalah yang diijtihadi, (2) mengetahui tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat, dan (3) memelihara kesalehan dan ketakwaan diri.10

Simpulan
Beberapa simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas.
1. Ijtihad dilakukan oleh mujtahid untuk mengeluarkan hukum berdasarkan Kitāb Allāh dan Sunnah Rasūl. Namun, tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat mujtahid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Syarat-syarat pokok yang disepakati oleh para ulama uṣūl fiqh dalam hal ini ada empat: (a) memiliki pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, (b) mengetahui nas-nas Alquran perihal hukum-hukum syarak yang dikandungnya, (c) mengetahui nas-nas hadis, dan (d) mengetahui maqāṣid al-syarī’ah.
3. Di samping yang empat yang disebutkan, di kalangan ulama ada yang menetapkan syarat-syarat lain yang masing-masing—secara katagoris—dapat disebut sebagai (a) syarat-syarat umum (kuat daya nalar dan baik akidahnya), (b) syarat-syarat penting (seperti mengetahui usul fikih dan menguasai logika), dan (c) syarat-syarat pelengkap (seperti mengetahui tempat-tempat ijmak dan perbedaan pendapat).






[1]HR. al-Bukhāriy, Muslim, Abū Dāwud, al-Nasā`iy, al-Turmużiy, Aḥmad, dan Ibn Ḥibbān. Redaksi hadis di atas berasal dari al-Bukhāriy. Lihat, Abū ‘Abd Allāh Mujḥammad ibn Ismā’īl al-Bukhāriy, al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ, Juz 4, Cet. I, (Kairo: Maktabah al-Salfiyyah, 1400 H)h. 372.
[2]Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ, Jilid I, (Istanbul: al-Maktabah al-Islāmiyyah, t.th.), h. 142; Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, (t.t.: t.p., t.th.), h. 234; dan Khālid Ramaḍān Ḥasan, Mu’jam Uṣūl al-Fiqh, Cet. I, (Mesir: al-Rauḍah, 1998),h. 21.
[3]Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh,  (t.t.: Dār al-Fikr al-‘Arabiy, t.th.), h. 379.
[4]‘Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh, Cet. XII, (t.t.: Dār al-Qalam, 1987), h. 216.   
[5]Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial (Cet. II; Bandung: Mizan, 1994), h. 84.
[6]Ibid., h. 85.
[7]Dari aspek operasionalnya, ijtihad dibedakan atas (1) ijtihad fardiy dan (2) ijtihad jamā’iy. Setiap ijtihad yang belum atau tidak memperoleh persetujuan dari para mujtahid terhadap suatu masalah disebut ijtihad fardiy. Sebaliknya, ijtihad jamā’iy adalah setiap ijtihad yang telah mendapat persetujuan dari para mujtahid terhadap suatu masalah.
[8]Mukhtar Yahya dan Fatchrrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Cet. I, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), h. 382—383. Bandingkan dengan ‘Abd al-Wahhāb Khallāf, Op.cit., h. 218—219.
[9]Muḥammad Abū Zahrah, Op.cit., h. 380—388. 
[10]Pengertian dan Syarat-Syarat Mujtahid”, (http://kajad-alhikmahkajen.blogspot.com)  diakses pada Jumat, 11/03/2011.


DAFTAR PUSTAKA

Abū Zahrah, Muḥammad. Uṣūl al-Fiqh.  t.t.: Dār al-Fikr al-‘Arabiy, t.th.
al-Bukhāriy, Abū ‘Abd Allāh Mujḥammad ibn Ismā’īl. al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ. Juz 4, Cet. I; Kairo: Maktabah al-Salfiyyah, 1400 H.
Ḥasan, Khālid Ramaḍān. Mu’jam Uṣūl al-Fiqh. Cet. I; Mesir: al-Rauḍah, 1998.
http://kajad-alhikmahkajen.blogspot.com. “Pengertian dan Syarat-Syarat Muj-tahid”,  diakses pada Jumat, 11/03/2011.
Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb. ‘Ilm Uṣūl al-Fiqh. Cet. XII; t.t.: Dār al-Qalam, 1987.
Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasīṭ. Jilid I, Istanbul: al-Maktabah al-Islāmiyyah, t.th.
Munawwir,  Ahmad Warson. al-Munawwir. t.t.: t.p., t.th.
Yafie, Ali. Menggagas Fiqih Sosial. Cet. II; Bandung: Mizan, 1994.
Yahya, Mukhtar dan Fatchrrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Cet. I; Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986.


Yuk, Bagikan!

Posting Komentar

Sebagai ungkapan silaturahim, berikan komentar Anda!

 
Copyright © 2014. Qalamedia Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger